Busungbiu merupakan salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Buleleng yang terkenal akan bidang perkebunannya terutama komoditi kopinya. Banyakvyang belum tahu bagaimana perkembangan kopi hingga bisa dinikmati oleh sebagian orang di dunia ini.
Banyak orang Indonesia yang menyangka bahwa kopi merupakan komoditi asli Indonesia. Perlu diketahui sebenarnya kopi bukanlah asli tanaman Indonesia melainkan dari daratan Afrika. Hal ini memang terbukti dalam sejarah kopi bahwa tanaman kopi ditemukan di Afrika. Setelah ditemukannya tanaman kopi, kemudian tanaman ini mulai dibudidayakan dan tersebarlah ke seluruh dunia.
Sejarah mencatat bahwa kopi pertama kali ditemukan oleh orang Ethiopia sekitar 3000 tahun yang lalu. Ketika itu ada seorang penggembala kambing yang sedang membawa ternaknya ke padang. Ketika sedang menjaga ternaknya, ia melihat kambing peliharaannya memakan sebuah biji mirip berry di pohon dan kemudian kambing itu tetap terjaga dan hiperaktif walaupun matahari terbenam. Lalu sang gembala mencoba mengolah dan memakan biji tersebut. Dan ia merasa segar kembali.
Dulu orang tidak menumbuk kopi kemudian diseduh. Pada awalnya, kopi hanya dikeringkan kemudian diseduh saja, baru setelah 500 tahun ditemukan, muncullah alat untuk menghancurkan biji kopi. Pada saat itu pengolahan kopi juga masih sangat sederhana.
Sejarah kopi di Indonesia dimulai sejak Gubernur Belanda di Malabar (India) mengirim bibit kopi Yaman atau kopi arabika (Coffea arabica) kepada Gubernur Belanda di Batavia (sekarang Jakarta) pada tahun 1696. Bibit pertama ini gagal tumbuh karena banjir di Batavia. Pengapalan kedua biji kopi ke Batavia dilaporkan terjadi pada tahun 1699. Tanaman ini tumbuh, dan pada tahun 1711 eksport pertama dikirim dari Jawa ke Eropa oleh perusahaan dagang Belanda, dikenal sebagai VOC (Verininging Oogst Indies Company) yang didirikan pada tahun 1602. Selama 10 tahun, eksport meningkat menjadi 60 ton per tahun. Indonesia adalah tempat pertama kali kopi dibudidayakan secara luas di luar Arab dan Ethiopia. VOC memonopoli perdagangan kopi pada tahun 1725 sampai 1780.
Perdagangan kopi sangat menguntungkan bagi VOC, tetapi bermanfaat sedikit untuk petani Indonesia yang dipaksa menanamnya oleh pemerintah Kolonial Belanda. Secara teori, memproduksi komoditas eksport berarti menghasilkan uang bagi penduduk Jawa untuk membayar pajak mereka. Ini dalam bahasa Belanda dikenal sebagai Cultuurstelsel (Cultivation System) dan ini meliputi mulai dari rempah-rempah dan komoditas utama pertanian tropis yang sangat beraneka jenisnya. Cultuursstelsel untuk kopi diterapkan di daerah Prenger Jawa Barat. Pada praktiknya, harga untuk komoditas utama pertanian ini di-setting terlalu rendah dan mereka dipalingkan dari pekerjaan buruh yang memproduksi beras, yang menyebabkan situasi berat bagi petani.
Di pertengahan abad ke-17, VOC mengembangkan area tanam kopi arabika di Sumatra, Bali, Sulawesi, dan Kepulauan Timor. Di Sulawesi kopi pertama kali ditanam tahun 1750. Di dataran tinggi di Sumatra Utara kopi pertama kali tumbuh di dekat Danau Toba pada tahun 1888, diikuti oleh dataran tinggi Gayo (Aceh) dekat Danau Laut Tawar pada tahun 1924.
Pada tahun 1850, pegawai kolonial belanda, Eduard Doues Dekker, menulis sebuah buku berjudul “Max Havelaar and the Coffee Auctions of the Dutch Trading Company” yang mengekspose pressure pada petani oleh pegawai-pegawai korup dan tamak. Buku ini membantu mengubah opini publik Belanda tentang “Cultivate System” dan kolonialisasi secara umum. Baru-baru ini nama Max Havelaar diadopsi oleh suatu organisasi fair-trade pertama.
Di sekitar abad 18, kolonial Belanda mendirikan lahan pertanian kopi yang luas di dataran tinggi Ijen di Jawa Timur. Meski demikian, bencana menghantam pada tahun 1876, ketika kopi diserang penyakit karat daun yang menyapu Indonesia, membumihanguskan tanaman sejenis. Kopi robusta (C. canephor var. robusta) diperkenalkan di Jawa Timur pada tahun 1900 sebagai pengganti di dataran yang lebih rendah dan penyakit karat sekoyong-koyong dibinasakan.
Pada tahun 1920, perusahan-perusahaan kecil di Indonesia mulai menanam kopi sebagai komoditas utama. Perkebunan di Jawa dinasionalisasi pada hari kemerdekaan dan direvitalisasi dengan varietas baru kopi arabika di tahun 1950-an. Varietas ini diadopsi oleh perusahaan-perusahaan kecil melalui pemerintah atau berbagai program pengembangan masyarakat. Sekarang lebih dari 90% kopi arabika Indonesia dikembangkan oleh perusahaan kecil terutama di daerah Sumatra Utara, dengan lahan 1 hektar atau kurang. Produksi arabika tahunan sekitar 75.000 ton dan 90% diekspor. Kopi arabika yang sampai ke negara lain sebagian besar masuk ke segmen pasar spesial.
(Sumber : Nusantaratv.com)
Penulis : Gayatri, BPP Busungbiu