Sebanyak 36,3 ton Apel Berbakteri Asal AS Dimusnahkan
Admin distan | 07 Maret 2015 | 899 kali
Jakarta (ANTARA News) - Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementerian Pertanian memusnahkan 36,3 ton apel impor asal Amerika Serikat (AS) yang positif mengandung bakteri Listeria monocytogenes.
Pemusnahan melalui cara dibakar hingga menjadi abu dengan mesin incenerator milik PT Tenang Jaya Sejahtera, di Karawang, Jawa Barat, Jumat disaksikan Kepala Barantan Banun Harpini serta perwakilan Bea Cukai Tanjung Priok, Kementerian Perdagangan, Kepolisian dan importir apel tersebut.
Banun menyatakan, setelah dilakukan uji laboratorium oleh PT Angler BioChamLab, Surabaya, apel-apel tersebut positif mengandung bakteri Listeria monocytogenes yang cukup berbahaya.
"Cara ini dilakukan untuk mengamankan masyarakat dari produk yang tidak aman dan ini menjadi tanggung jawab negara," katanya.
Sementara itu Kepala Balai Karantina Pertanian Tanjung Priok Purwo Widiarto mengungkapkan, pada 28 Januari 2015 Karantina Pertanian Tanjung Priok menerima dokumen permohonan importasi produk segar asal tumbuhan berupa apel dari AS melalui Singapura.
Kemudian hal itu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan fisik dan pengambilan sampel untuk pengujian laboratorium lebih lebih lanjut dan hasil uji laboratorium Karantina Pertanian Tanjung Priok menunjukkan positif mengandung bakteri pada apel-apel tersebut.
Apel sebanyak 36,3 ton tersebut terbagi dalam dua peti kemas yang masing-masing memuat 19,49 ton dan 16,84 ton.
"Terhadap kedua kontainer apel tersebut dilakukan tindakan penolakan pada 5 Februari lalu dan kepada pemiliknya diberikan waktu dua minggu untuk melakukan reekspor," katanya.
Namun, karena pemilik tidak mampu melakukan reekspor dengan alasan biaya maka Badan Karantina kemudian menerapkan tindakan pemusnahan terhadap apel dengan jenis granny smith, galla dan red delicious tersebut.
Terkait nilai ekonomi apel-apel yang dimusnahkan tersebut, Banun Harpini mengatakan, jika harga buah itu di pasaran sekitar Rp35.000-Rp40.000 per kilogram maka sekitar Rp10 miliar.
"Namun jangan dilihat dari nilai ekonomi, tetapi akibat yang harus ditanggung dan kesehatannya, itu yang harus kita kedepankan," katanya.