SAWAH DAN ALIH FUNGSI
Tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan selalu membawa dampak, baik dampak positip maupun dampak yang negatif. Ini terjadi dibidang apapun termasuk dibidang pertanian.
Sawah merupakan suatu areal yang berpetak petak, berteras yang peruntukan utamanya adalah untuk bertanam padi, karena kita semua tentu makan nasi yang berasal dari beras atau padi. Betapa sangat berharganya sepetak sawah untuk kehidupan kita. Tetapi kedepannya pernahkah kita membayangkan seandainya sawah sudah habis menjadi alih fungsi, dari manakah kita memperoleh beras atau nasi untuk memenuhi makanan pokok? Memang sering kita mendengar kata kata pertanian berkelanjutan, sawah berkelanjutan, dan berkelanjutan lainnya. Lalu siapakah yang paling berperan dalam melestarikannya? Apakah pemerintah, apakah masyarakat petani, ataukah siapa? Seperti contoh kasus yang dikorek dari Pak Nyoman Mangku Tirta Kelian Subak Umejero, bahwa 40 tahun yang lalu, luas sawah di Subak Umejero mencapai 120 ha. Dan kini yang masih mengusahakan tanaman padi seluas 19 ha atau 16 persen saja, selebihnya sudah beralih fungsi. Sebagian terbesar sudah beralih komoditas menjadi cengkeh, beralih fungsi menjadi perumahan, jalan, sekolah, fasilitas kesehatan dan sebagainya.
Pertanyaannya sekarang, yang masih menanam padi seluas 19 ha itu, bagaimana mempertahakan? Mungkin kita tidak pernah membayangkan bagaimana beratnya nenek moyang dulu dapat mencetak sawah dengan peralatan yang mungkin sangat sederhana. Mungkin memerlukan waktu bertahun - tahun bahkan berpuluh -puluh tahun, sehingga sawah yang berteras dan sangat indah saat sore hari apalagi saat padi sedang menguning. Kalau kita mau jujur mungkin saat ini kita tidak sanggup untuk mencetak sawah baru tetapi tentu kita harus mau menjaga dan melestarikan sisa yang masih ada. Agar kelak anak cucu kita tahu dan dapat melihat yang namanya sawah, yang namanya tanaman padi yang sedang menguning, yang memberi kita sumber makanan dan kebidupan.
Kalau saja kita selalu sepakat bahwa Subak adalah suatu lembaga yang bersifat otonom, berhak mengatur rumah tangganya sendiri, tentu tanggung jawab untuk melestarikannya adalah pada lembaga subak itu sendiri. Perlu komitmen yang sama dari pengurus dan anggota subak tentu harus didukung oleh pemerintah dinas dan desa adat untuk mampu mewujudkan pelestarian subak dimaksud.
Subak bisa membuat peraturan atau awig-awig yang mengikat untuk mempertahakan sawah yang masih ada, misalnya tidak boleh dialih fungsikan, tidak boleh menjual, atau kalau menjual/dijual tetap sebagai sawah dan sebagainya. Atau pemerintah perlu memberi insentif kepada petani/subak yang mampu mempertahankan sawah misalnya dibebaskan dari pajak atau difasilitasi hal-hal yang menggairahkan petani agar merasa terlindungi, aman dan sejahtera.
Mudah-mudahan alih fungsi bisa distop dan sawah bisa dilihat sepanjang masa.
#I Wayan Suandia/BPP Busungbiu.