Oleh : Putu Suwardiyasa - Penyuluh Pertanian Muda
Pupuk merupakan salah satu masukan utama pada usaha tani padi. Untuk meningkatkan produksi, umumnya petani memberikan pupuk terutama urea dan ZA dengan takaran yang cukup tinggi, mencapai 300 kg urea dan 50−100 kg ZA/ha. Bahkan pada beberapa daerah, takarannya mencapai 400−500 kg urea atau setara dengan 184−230 kg N/ha. Padahal berdasarkan anjuran, N cukup diberikan 90−120 kg/ha atau setara dengan 200–260 kg urea/ha. Pemberian pupuk N yang berlebihan ini menyebabkan efisiensi pupuk menurun serta membahayakan tanaman dan lingkungan (FFTC dalam Anonim 2000a). Fageria dan Virupax (1999) menyatakan bahwa nitrogen merupakan faktor kunci dan masukan produksi yang termahal pada usaha padi sawah, dan apabila penggunaannya tidak tepat dapat mencemari air tanah.
Kerusakan lingkungan akibat pemupukan N yang berlebihan disebabkan adanya emisi gas N2O pada proses amonifikasi, nitrifikasi, dan denitrifikasi. Menurut Partohardjono (1999), emisi gas N2O dipengaruhi oleh takaran pupuk N yang diberikan; makin tinggi takaran N, makin besar emisi gas N2O. Lebih lanjut dinyatakan bahwa emisi gas N2O berkaitan erat dengan bentuk pupuk N. Urea tablet memberikan emisi gas N2O terendah, dan tertinggi pada pupuk urea butiran. Makin efisien penggunaan pupuk N, makin rendah tingkat emisi gas N2O. Menurut Stevens et al. (1999), pemberian pupuk N yang berlebihan pada padi dapat meningkatkan kerusakan tanaman akibat serangan hama dan penyakit, memperpanjang umur tanaman, dan menyebabkan kerebahan.
Penghapusan subsidi pupuk oleh pemerintah ternyata tidak menyebabkan petani mengurangi takaran pupuk karena mereka telah terbiasa dengan pemupukan N takaran tinggi. Akibatnya biaya usaha tani meningkat dan pendapatan petani semakin menurun. Dengan pertimbangan tersebut maka penerapan teknologi yang mengarah kepada efisiensi penggunaan pupuk, khususnya pupuk N sangat diperlukan.
Strategi pengelolaan hara N yang optimal bertujuan agar pemupukan dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanaman sehingga dapat mengurangi kehilangan N dan meningkatkan serapan N oleh tanaman. Pemberian pupuk yang tepat tidak saja akan menurunkan biaya penggunaan pupuk, tetapi dengan takaran pupuk yang lebih rendah, hasil relatif sama, tanaman lebih sehat, serta mengurangi hara yang terlarut dalam air dan penimbunan N dalam air atau bahan makanan yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia (Anonim 2000a).
Upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk N dapat dilakukan dengan menanam varietas unggul yang tanggap terhadap pemberian N serta memperbaiki cara budi daya tanaman, yang mencakup pengaturan kepadatan tanaman, pengairan yang tepat, serta pemberian pupuk N secara tepat baik takaran, cara dan waktu pemberian maupun sumber N. Menurut Partohardjono dan Fitts (1974), penggunaan pupuk urea berlapis belerang yang dapat melepas N secara lambat dapat meningkatkan efisiensi penggunaan N pada padi sawah. Lebih lanjut Partohardjono et al. (1981) menyatakan bahwa efisiensi penggunaan N meningkat bila pupuk N diberikan secara bertahap atau memberikan unsur N dalam bentuk tablet.
Mempertahankan kondisi tanaman dalam keadaan cukup hara N namun tidak berlebihan merupakan salah satu alternatif meningkatkan efisiensi pupuk N. Pupuk diberikan berdasarkan kandungan N dalam daun tanaman yang ditunjukkan oleh penampakan warna daun. Penentuan kondisi tanaman kritis terhadap N dilakukan dengan menggunakan chlorophyll meter (SPAD) yang dapat mendeteksi kandungan hara tanaman. Metode terakhir ini kemudian dimodifikasi dengan suatu alat berupa bagan warna daun (BWD) atau leaf color chart (LCC) karena harga alat SPAD cukup mahal (sekitar US$ 1500/unit) sehingga sulit dijangkau oleh petani.
Hasil penelitian penggunaan BWD memberikan gambaran bahwa BWD dapat mengoptimalkan penggunaan N, merupakan alat peraga untuk menduga status N daun, sangat sederhana, tidak bersifat merusak, murah dan mudah digunakan, ramah lingkungan dan dapat dimiliki oleh petani karena harganya terjangkau. Namun, alat ini tidak dapat digunakan pada daerah-daerah yang kondisi tanahnya bermasalah, seperti tanah kahat belerang (S) dan fosfor (P) atau kelebihan besi, karena hasilnya akan dikaburkan oleh pengaruh kekurangan atau keracunan hara tersebut. Oleh karena itu, penggunaan BWD hanya direkomendasikan pada daerah-daerah yang tanahnya tidak bermasalah atau setelah kondisi tanah yang bermasalah tersebut diatasi.
PENGERTIAN BAGAN WARNA DAUN
Bagan warna daun (BWD) merupakan alat skala warna yang terbuat dari plastik, terdiri atas enam skala warna mulai dari skala 1 dengan warna hijau kekuningan hingga skala 6 dengan warna hijau tua, berukuran 7 cm x 19,50 cm (Gambar 1). Skala tersebut diperhitungkan berdasarkan skala pada alat SPAD yang efektif digunakan sebagai petunjuk untuk pemupukan N pada tanaman padi.
Alat ini dapat mendeteksi status kandungan N pada tanaman padi. Batas kritis skala warna daun dipengaruhi oleh varietas, cara tanam, populasi tanaman, dan status hara tanah.
Konsep pemupukan yang didasarkan atas perubahan warna daun sebenarnya telah lama diterapkan secara praktis oleh petani. Biasanya petani memberikan pupuk pada tanaman padi bila warna daun berubah menjadi kuning, walaupun tidak menggunakan alat standar warna. Peneliti di Cal Tech pada sekitar tahun 1920 juga telah mengidentifikasi warna daun sebagai indikasi kandungan hara N tanaman. Pada tahun 1980-an peneliti di California University menguatkan temuan tersebut (Boyd 2001). Kemudian pada tahun 1987 Furuya mengembangkan prototipe indicator warna daun yang disebut dengan LCC atau BWD yang berfungsi untuk membantu petani menentukan kapan tanaman padi seharusnya dipupuk (Zaini dan Erythrina 2002).
SKALA KRITIS BAGAN WARNA DAUN
Tingkat skala warna daun tanaman padi dipengaruhi oleh populasi tanaman, fase pertumbuhan tanaman, varietas yang digunakan, cara tanam, dan status hara N dalam tanah. Hasil penelitian di Filipina menunjukkan bahwa dengan menggunakan alat SPAD, titik kritis tanaman padi terhadap hara N pada musim kemarau adalah pada skala 30 untuk sistem tanam benih langsung (tabela) secara sebar dengan jumlah anakan sekitar 800 tanaman/ m2 (produktivitas 6,85 t/ha), dan pada skala 32 untuk cara tanam tabela secara larikan dengan jumlah anakan produktif tidak kurang dari 650 tanaman/m2 (produktivitas yang dicapai 6,83 t/ha) (Balasubramanian et al. 1998). Selanjutnya Balasubramanian et al. (1999) menyatakan bahwa nilai kritis SPAD tanaman padi tanam pindah pada musim kemarau adalah pada skala 35, sedangkan pada padi musim hujan yang ditanam secara tabela nilai kritisnya berada pada skala 32. Namun di India, nilai kritis SPAD adalah pada skala 36–38 untuk tanam pindah pada musim kemarau dan 33−35 pada musim hujan (Ramanathan dan Nagarayan 2000).
Menurut Boyd (2001), hasil pengamatan dengan SPAD berkorelasi sangat tinggi dengan hasil pengamatan dengan BWD. Dengan mengacu pada estimasi Mutters (1999) yang menganalisis hubungan Minolta chlorophyll meter dan Fuji color chart (Tabel 1), maka apabila skala kritis SPAD tanaman padi pada musim kemarau adalah 35, berarti kandungan hara N pada daun sama dengan 2,90%. Nilai ini identik dengan skala 4 pada BWD. Demikian pula dengan skala SPAD 32 pada padi yang ditanam secara tabela atau tanam pindah pada musim hujan, berarti kandungan hara N tanaman adalah 2,60%, atau identic dengan skala sekitar 3,20 pada skala BWD. Hal ini sesuai dengan IRRICREMNET (1998) dan Asis (2001) yang menyatakan bahwa nilai kritis BWD tanaman padi dengan cara tanam pindah berada pada skala 4 dan untuk tanam secara tabela pada skala 3. Balasubramanian dalam Anonymous (2000b) lebih rinci melaporkan bahwa nilai kritis skala warna BWD padi tanam pindah untuk
varietas aromatik adalah pada skala 3, varietas indica tipe semikerdil pada skala 4, dan varietas hibrida pada skala 4− 5. Pada padi yang ditanam secara tabela, untuk varietas semikerdil nilai kritisnya adalah pada skala 3 dan untuk hibrida pada skala 4. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan skala yang lebih besar (sampai skala 5) pada semua lokasi cenderung meningkatkan hasil (Tabel 2). Namun, tingkat efisiensi agronomis dan faktor produktivitas parsial N (FPP-N) semakin menurun. Peningkatan hasil dari skala BWD-3 menjadi BWD-4 berkisar 20−27%, sedangkan dari BWD-4 menjadi BWD-5 hanya 3−5%. Dilihat dari efisiensi agronomis, tampaknya perlakuan BWD-4mampu memberikan hasil tertinggi (30 kg gabah/kg N), sedangkan bila dilihat dari FPP-N, BWD-3 memberikan nilai terbaik (rata-rata 111 kg gabah/kg N). Hasil penelitian Wahid et al. (2001) juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Sampai dengan skala BWD-5, hasil padi mencapai 7,31 t/ha dibanding skala BWD-4 yang hanya 6,52 t/ha. Berdasarkan hasil pengamatan warna daun selama di lapang, warna daun untuk BWD-5 tidak pernah mencapai skala 5 (Tabel 3). Hal ini menggambarkan bahwa penggunaan BWD-5 telah terjadi kelebihan pupuk N, yang sesuai pula dengan Zaini dan Erythrina (2002). Hasil kajian Wahid et al. (2000) dengan menggunakan skala BWD- 4,5 pada tanaman padi varietas Ciliwung di Kabupaten Enrekang menunjukkan bahwa BWD-4,5 dapat memberikan hasil 6,01 t/ha atau 10,20% lebih tinggi dari paket pemupukan rekomendasi, dan 21% lebih tinggi daripada hasil yang dicapai petani. Tingkat efisiensi penggunaan hara N pada BWD- 4,5 juga lebih tinggi, yaitu setiap 1 kg N dapat menghasilkan 54,60 kg GKG, sedangkan pada pemupukan rekomendasi, setiap kilogram pupuk N menghasilkan 53,40 kg GKG.
WAKTU DAN CARA PENGAMATAN DENGAN BWD DAN TAKARAN PUPUK
Pengamatan dengan BWD dilakukan selang 7–10 hari setelah pemupukan pertama hingga tanaman bunting. Waktu pengamatan sebaiknya dilakukan pada pukul 08.00–10.00 dan 14.00–16.00 untuk menghindari kesalahan membaca akibat pantulan cahaya matahari. Pengamatan dilakukan dengan memilih secara acak 10 tanaman sampel yang sehat (tidak terinfeksi penyakit maupun terdapat gejala defisiensi/ keracunan hara selain N) dalam hamparan yang seragam. Alat diletakkan di belakang permukaan daun termuda yang sudah membuka, kemudian disesuaikan dengan skala warna sampai warna daun sama dengan warna alat (Gambar 1). Skala warna dicatat kemudian berpindah ke sampel tanaman lain hingga sampel ke-10. Apabila nilai rata-rata skala yang tercatat sama atau kurang dari skala yang ditentukan (4), maka tanaman padi perlu segera dipupuk. Pada saat membaca skala warna, daun harus dihindarkan dari cahaya matahari langsung. Caranya pengamat membelakangi arah matahari sehingga daun terlindung oleh bayangan badan pengamat. Apabila hamparan petak sawah tidak seragam (heterogen), maka petak sawah dikelompokkan berdasarkan keseragamannya. Jumlah pupuk SP-36 dan KCl yang diberikan untuk pemupukan pertama (dasar) disesuaikan dengan takaran rekomendasi setempat. Pupuk diberikan sebelum tanam atau bersamaan dengan pemupukan N pertama yaitu pada umur 14 hari setelah tanam (HST) untuk padi tanam pindah dan 21 HST untuk tabela. Takaran pupuk N yang diberikan adalah 30 kg N/ha atau setara dengan 65 kg pertanaman urea untuk musim kemarau dan 23 kg N atau setara 50 kg urea untuk musim hujan. Apabila lokasi penanaman kekurangan S, maka pemupukan pertama disubstitusi dengan pupuk ZA. Pupuk susulan dengan takaran 45 kg N/ha atau setara 100 kg urea/ha untuk pertanaman musim kemarau dan 30 kg N/ha atau setara dengan 65 kg urea/ha untuk musim hujan, diberikan pada saat hasil pengamatan BWD rata-rata di bawah nilai 4. Jadi pupuk susulan diberikan sesuai hasil pengamatan BWD. Pada periode pengamatan yang terakhir (fase primordia bunga atau mendekati fase bunting), apabila didapatkan skala daun di bawah 4, takaran pupuk dikurangi menjadi 30 kg N pada musim kemarau dan 20 kg N/ha pada musim hujan.