TEMPO.CO, Kulon Progo - Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengklaim meski tahun ini Indonesia dilanda fenomena El-Nino cukup dahsyat, hal itu tak sampai memaksa pemerintah mengambil keputusan impor beras.
“Tahun ini masih belum ada impor, meskipun dampak El-Nino luar biasa dahsyat, produktivitas beras naik 4 juta ton setahun ini,” ujar Amran pada saat panen jagung bersama petani di Desa Sendangsari Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, Rabu, 3 November 2015.Amran mengatakan dibanding pada 1999, saat indeks El-Nino sebesar 1,9 dan jumlah penduduk Indonesia ada sekitar 202 juta, impor beras kala itu mencapai 7,1 juta ton.
Jika saat ini pemerintah tetap mau impor dengan kondisi indeks El-Nino berdasarkan laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mencapai 2,3 dengan jumlah penduduk 252 juta jiwa, seharusnya, kata Amran, sudah ada 9 juta ton beras yang diimpor. “Tapi kami tetap tidak impor karena sudah ada swasembada pangan,” ujar Amran.
Amran mengatakan pemerintahan Presiden Joko Widodo tidak antiimpor. Pengetatan impor dilakukan guna meningkatkan daya saing petani lokal. Menurut Amran, penguatan petani lokal hanya bisa dilakukan melalui kebijakan ekspor, bukan impor. “Sejumlah komoditas sudah mulai ekspor,” ujar Amran.
Amran mengatakan pemerintah telah mengekspor 134 ribu ton beras ketan ke Italia. “Kalau tak ada El-Nino, kami yakin jutaan yang bisa terekspor dari komoditas beras ketan,” ujarnya. Selain beras ketan, Indonesia juga mengekspor 400 ribu ton jagung, 60 ribu ton kacang hijau, dan 5 ribu ton bawang merah ke berbagai negara.
“Untuk bawang merah, memang kami sempat akan impor 30 ribu ton karena ada informasi kelangkaan, tapi setelah cek lapangan langsung ke Brebes dan Bima, panen melimpah jadi kami batalkan rencana impor itu,” ujar Amran.
Menurut Amran, kebijakan impor memang selayaknya ditekan dan hanya dilakukan sesuai dengan kebutuhan, bukan atas dasar kepentingan segelintir orang yang ingin mencari keuntungan dan mematikan petani lokal. “Persoalan utama petani kita lemah karena panjangnya supply chain, ini yang kami akan pangkas,” ujar Amran.
Ia memisalkan, jika harga bawang dari petani Rp 6 ribu, sampai di perkotaan sudah menjadi Rp 36 ribu. Selisih keuntungan mengumpul pada pedagang kota dan petani tak mendapat hasil maksimal atas jerih payahnya. “Pedagang kota naik haji jual bawang, petani naik haji jual sawah, ini jelas enggak adil,” ujarnya.
Download disini