Selama ini kurang lebih 10 tahun pengamatan penulis, dimana orang -orang jual berbagai macam bibit seperti tanaman cengkeh, durian, manggis, alpukat dan lain-lain tak pernah berhenti begitu menghadapi musim penghujan antara bulan Oktober sampai Maret kurang lebih enam bulan. Selama itu gencar-gencarnya orang menjajakan dagangannya berupa bibit siap tanam baik dari hasil okuasi, stek dan bjji ke desa-desa dengan alat angkut baik sepeda motor maupun dengan mobil.
Coba bayangkan sekali musim tanam atau musim hujan jumlah bibit yang masuk kedesa, apalagi sekup kecamatan tidaklah sedikit kalau diuangkan. Contoh saja dalam satu desa terjual bibit 1000 pohon dikali 15 desa. Harga rata-rata Rp 15,000,_ perpohon, tentu uang yang keluar dari desa/kecamatan mencapai Rp 225 juta.
Kalau kita lihat dari pengusaha bibit tersebut dimana mengambil biji-biji untuk bahan pertanaman adalah dari hasil buah yang ditanam oleh pembeli selama ini, setelah jadi bahan tanaman kembali dijual kepetani didesa dengan harga yang pantastis. Kalau saja kita mau meluangkan waktu untuk belajar menyemaikan biji-biji dari buah yang ada di sekitar kita seperti durian, mangga, manggis, duku, jambu dan lain-lain dalam satu setengah tahun sudah memperoleh bibit siap tanam, tentu sebelumnya diokulasi dengan jenis yang unggul dan berbuah berkali-kali.
Dalam hal ini agar menjadi profesional dalam kegiatan okulasi tentu diperlukan pelatihan secara khusus agar menjadi lebih terampil, sehingga dengan adanya proses ini dapat menciptakan lapangan kerja ditengah pandemi covid 19 seperti saat ini. Dengan adanya pembibitan di desa-desa disamping menciptakan lapangan kerja dimana biji-biji buah selama ini dianggap tidak bernilai justru bisa menghasilkan rupiah dan dapat mengurangi biaya pengeluaran untuk pembelian bibit setiap musim tanam.
Tentu dengan kegiatan ini punya dampak yang positif, baik kepada generasi muda sebagai pengusaha bibit dirumah sendiri, sehingga berdampak juga terhadap percepatan pembangunan pertanian dipedesaan.