Oleh:
Pande Made Giopany, S.P.
(POPT
– Ahli Pertama BPP Kecamatan Sukasada)
Sistem produksi padi di Indonesia terus mengalami inovasi untuk
meningkatkan produktivitas, efisiensi biaya, adaptasi terhadap keterbatasan
sumber daya, dan perubahan pola iklim. Salah satu teknik budidaya yang cocok
untuk menghadapi kondisi ini adalah sistem padi salibu, yaitu pemanfaatan kembali
batang sisa panen untuk menghasilkan tunas baru tanpa melalui proses tanam
ulang. Sistem salibu ini dinilai lebih hemat biaya, lebih cepat dipanen, dan
lebih adaptif pada daerah yang menghadapi kekurangan air.
Di Bali, praktik salibu telah menjadi bagian dari pengetahuan lokal
yang berkembang dalam sistem irigasi tradisional subak. Salah satu subak yang
secara konsisten menerapkan teknik budidaya salibu adalah Subak Keladian, yang
terletak di Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Subak ini
memiliki luas lahan sawah sekitar 20 Ha, dengan 29 orang anggota, dan telah
menerapkan budidaya salibu selama puluhan tahun. Budidaya salibu di subak ini
dilakukan terutama pada musim tanam ketiga, ketika sistem pergiliran air
menyebabkan pasokan irigasi terbatas dan petani hanya mengandalkan air hujan.
Kondisi ini menjadikan salibu sebagai pilihan untuk melanjutkan budidaya padi
karena tidak membutuhkan olah tanah ulang serta memerlukan air yang relatif
lebih sedikit dibandingan pola tanam konvensional.
Dalam proses budidaya salibu, sebagian besar petani di Subak
Keladian tidak memberikan pupuk tambahan setelah panen padi utama dan juga
tidak melakukan pengendalian OPT menggunakan pestisida kimia. Pemeliharaan yang
dilakukan sebatas memanfaatkan air yang tersedia, baik dari sisa aliran irigasi
maupun hujan. Hal ini menunjukkan bahwa salibu diperlakukan sebagai sistem
produksi berbiaya rendah yang mengandalkan sisa nutrisi tanah dan cadangan
energi dari batang utama.
Sebagian besar petani di Subak ini melakukan pemotongan ulang pada
batang sisa panen dengan ketinggian sekitar 3-5cm, sementara sebagian lainnya
memilih untuk membiarkan batang lebih tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan, perbedaan tinggi pemotongan batang sisa panen ini mempengaruhi
pertumbuhan tunas salibu. Pemotongan lebih rendah cenderung menghasilkan jumlah
tunas yang lebih banyak. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian yang
menunjukkan bahwa pemotongan rendah merangsang aktivitas mata tunas pada nodus
dasar, sehingga memunculkan anakan lebih banyak. Namun demikian, pertumbuhan
tunas dan keluarnya malai dari batang yang dipotong pendek berlangsung lebih
lambat karena sedikitnya cadangan fotosintat yang tersisa dalam batang.
Sebaliknya, batang yang dibiarkan tinggi menunjukkan jumlah tunas yang muncul
cenderung lebih sedikit, namun pembentukan malai terjadi lebih cepat.
Berdasarkan informasi dari petani Subak Keladian, hasil panen padi
utama pada tahun 2024 mencapai sekitar 6,8 ton/Ha gabah kering panen. Setelah
panen utama, lahan dilanjutkan dengan budidaya salibu, dan menghasilkan
rata-rata 2,7 ton/ha. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa produktivitas
salibu pada umumnya berkisar 2 hingga 3,5 ton/ha, tergantung varietas, teknik
pemeliharaan dan kondisi lingkungan. Meskipun produktivitas salibu lebih rendah
dibandingkan padi utama, sistem ini tetap menguntungkan karena tidak memerlukan
biaya tambahan untuk olah tanah, pembibitan, maupun penanaman. Dengan dilakukan
teknologi salibu ini dapat meningkatkan hasil, menghemat emisi karbon dan
penggunaan sumber daya, yang secara langsung meningkatkan pendapatan petani.
Metode ini juga meningkatkan indek panen dari dua kali menjadi tiga kali panen
dalam satu tahun.
Sumber Pustaka
Budidaya Padi Teknologi Salibu (BPTS). Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.
Budianti, Y. A., Sudiyarto, & Nuriah. Y. 2021.
Analisis Faktor Produksi Usahatani Padi dengan Metode Salibu di Kecamatan
Madiun Kabupaten Madiun Jawa Timur. Agroinfo Galuh. Volume 8, Nomor 3:
680-690