(0362) 25090
distan@bulelengkab.go.id
Dinas Pertanian

BUDIDAYA PADI TEKNOLOGI SALIBU: PANEN KEDUA DARI BATANG LAMA

Admin distan | 21 November 2025 | 302 kali

 

Oleh: Pande Made Giopany, S.P.

(POPT – Ahli Pertama BPP Kecamatan Sukasada)

 

Sistem produksi padi di Indonesia terus mengalami inovasi untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi biaya, adaptasi terhadap keterbatasan sumber daya, dan perubahan pola iklim. Salah satu teknik budidaya yang cocok untuk menghadapi kondisi ini adalah sistem padi salibu, yaitu pemanfaatan kembali batang sisa panen untuk menghasilkan tunas baru tanpa melalui proses tanam ulang. Sistem salibu ini dinilai lebih hemat biaya, lebih cepat dipanen, dan lebih adaptif pada daerah yang menghadapi kekurangan air.

Di Bali, praktik salibu telah menjadi bagian dari pengetahuan lokal yang berkembang dalam sistem irigasi tradisional subak. Salah satu subak yang secara konsisten menerapkan teknik budidaya salibu adalah Subak Keladian, yang terletak di Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Subak ini memiliki luas lahan sawah sekitar 20 Ha, dengan 29 orang anggota, dan telah menerapkan budidaya salibu selama puluhan tahun. Budidaya salibu di subak ini dilakukan terutama pada musim tanam ketiga, ketika sistem pergiliran air menyebabkan pasokan irigasi terbatas dan petani hanya mengandalkan air hujan. Kondisi ini menjadikan salibu sebagai pilihan untuk melanjutkan budidaya padi karena tidak membutuhkan olah tanah ulang serta memerlukan air yang relatif lebih sedikit dibandingan pola tanam konvensional.

Dalam proses budidaya salibu, sebagian besar petani di Subak Keladian tidak memberikan pupuk tambahan setelah panen padi utama dan juga tidak melakukan pengendalian OPT menggunakan pestisida kimia. Pemeliharaan yang dilakukan sebatas memanfaatkan air yang tersedia, baik dari sisa aliran irigasi maupun hujan. Hal ini menunjukkan bahwa salibu diperlakukan sebagai sistem produksi berbiaya rendah yang mengandalkan sisa nutrisi tanah dan cadangan energi dari batang utama.

Sebagian besar petani di Subak ini melakukan pemotongan ulang pada batang sisa panen dengan ketinggian sekitar 3-5cm, sementara sebagian lainnya memilih untuk membiarkan batang lebih tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, perbedaan tinggi pemotongan batang sisa panen ini mempengaruhi pertumbuhan tunas salibu. Pemotongan lebih rendah cenderung menghasilkan jumlah tunas yang lebih banyak. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa pemotongan rendah merangsang aktivitas mata tunas pada nodus dasar, sehingga memunculkan anakan lebih banyak. Namun demikian, pertumbuhan tunas dan keluarnya malai dari batang yang dipotong pendek berlangsung lebih lambat karena sedikitnya cadangan fotosintat yang tersisa dalam batang. Sebaliknya, batang yang dibiarkan tinggi menunjukkan jumlah tunas yang muncul cenderung lebih sedikit, namun pembentukan malai terjadi lebih cepat.

Berdasarkan informasi dari petani Subak Keladian, hasil panen padi utama pada tahun 2024 mencapai sekitar 6,8 ton/Ha gabah kering panen. Setelah panen utama, lahan dilanjutkan dengan budidaya salibu, dan menghasilkan rata-rata 2,7 ton/ha. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa produktivitas salibu pada umumnya berkisar 2 hingga 3,5 ton/ha, tergantung varietas, teknik pemeliharaan dan kondisi lingkungan. Meskipun produktivitas salibu lebih rendah dibandingkan padi utama, sistem ini tetap menguntungkan karena tidak memerlukan biaya tambahan untuk olah tanah, pembibitan, maupun penanaman. Dengan dilakukan teknologi salibu ini dapat meningkatkan hasil, menghemat emisi karbon dan penggunaan sumber daya, yang secara langsung meningkatkan pendapatan petani. Metode ini juga meningkatkan indek panen dari dua kali menjadi tiga kali panen dalam satu tahun.

 

 

Sumber Pustaka

Budidaya Padi Teknologi Salibu (BPTS). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian.

Budianti, Y. A., Sudiyarto, & Nuriah. Y. 2021. Analisis Faktor Produksi Usahatani Padi dengan Metode Salibu di Kecamatan Madiun Kabupaten Madiun Jawa Timur. Agroinfo Galuh. Volume 8, Nomor 3: 680-690