Oleh
: I Gede Sila Adnyana, S.P.
( POPT Ahli Pertama di Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Sukasada )
Tanaman
kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan unggulan yang memiliki peranan
penting dalam perekonomian masyarakat, baik sebagai sumber pendapatan petani
maupun bahan baku industri. Produktivitas kopi sangat dipengaruhi oleh kondisi
tanaman serta tekanan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang muncul di
lapangan. Salah satu OPT yang kerap menurunkan kualitas dan kuantitas produksi
adalah Penggerek Ranting Kopi (Xylosandrus morigerus), serangga
penggerek yang menyerang bagian ranting dan cabang, sehingga mampu menghambat
pertumbuhan dan pembentukan buah. Oleh karena itu, pemahaman mendalam mengenai
identifikasi, bioekologi, serta teknis pengendaliannya menjadi penting bagi
petani.
Xylosandrus morigerus merupakan kumbang penggerek kayu dari famili Scolytidae
(Curculionidae: Scolytinae) yang bersifat polifag, tetapi pada
tanaman kopi menyerang terutama bagian ranting muda hingga cabang kecil.
Serangga ini dikenal sebagai ambrosia beetle karena bersimbiosis dengan
jamur ambrosia pada lubang gerekan yang menjadi sumber pakan larvanya.
Ranting yang terserang akan melemah, mengalami perubahan warna, dan
lama-kelamaan mati. Keberadaan hewan ini sering tidak disadari pada tahap awal,
sehingga kerusakan dapat berkembang cepat.
Imago X. morigerus berukuran kecil, umumnya panjang tubuh 1,8–2,5 mm, berbentuk
silinder, dan berwarna cokelat gelap hingga hitam. Bagian kepala tertutup
pronotum ketika dilihat dari atas, ciri khas kelompok kumbang penggerek.
Permukaan elytra tampak bertekstur kasar dengan tonjolan halus. Betina
merupakan bentuk dominan dalam populasi karena berperan mencari inang dan
membentuk koloni baru, sedangkan jantan berukuran lebih kecil, tidak bersayap,
dan hidup menetap di dalam terowongan.
Telur
berwarna putih bening, berbentuk oval, dan diletakkan berkelompok di
dalam rongga gerekan. Larva tidak berkaki (apoda), berwarna putih krem,
dengan kepala kecokelatan. Stadia larva memakan jamur simbion sehingga
tidak langsung mengonsumsi jaringan tanaman. Pupa berwarna putih susu dan
secara bertahap menggelap mendekati fase imago. Keseluruhan siklus
berlangsung dalam rongga gerekan, sehingga sulit terdeteksi tanpa pembelahan
ranting.
Siklus
hidup X. morigerus berlangsung sekitar 30–45 hari tergantung kondisi
lingkungan, khususnya kelembapan dan ketersediaan ranting inang. Betina dewasa
keluar dari gerekan induk, kemudian mencari ranting yang lemah, stres, atau
mengalami luka untuk memulai gerekan baru. Setelah membuat terowongan, betina
membawa spora jamur ambrosia yang akan tumbuh dan menjadi pakan bagi larva.
Proses reproduksi biasanya berlangsung secara inbreeding di dalam rongga,
kemudian betina muda keluar untuk mencari inang selanjutnya. Serangan biasanya
meningkat pada musim kemarau saat tanaman mengalami cekaman.
Tanaman
kopi yang terserang ditandai oleh adanya lubang kecil pada ranting atau cabang,
seringkali disertai serpihan kayu halus (frass) yang keluar dari lubang
gerekan. Ranting akan menguning, mengering, dan akhirnya mati pucuk. Pada
serangan berat, banyak ranting mengalami kematian sehingga berdampak pada
penurunan pembungaan dan produksi buah. Jika rongga dibelah, terlihat
terowongan dengan koloni jamur berwarna keputihan dan populasi larva atau imago
di dalamnya.
Serangan
cenderung meningkat pada tanaman yang kurang terpelihara, mengalami cekaman
air, pemangkasan yang tidak tepat, atau kondisi kebun yang terlalu lembap dan
rimbun. Ranting yang terluka, terserang penyakit lain, atau kekurangan nutrisi
menjadi sasaran utama karena lebih mudah ditembus. Kondisi kebun yang jarang
dibersihkan juga memicu berkembangnya populasi karena banyak ranting mati
tertinggal sebagai tempat berkembang biak.
Pengendalian
dilakukan dengan pendekatan PHT. Secara kultur teknis, lakukan pemangkasan
sanitasi untuk membuang ranting yang terserang, pengaturan naungan agar
kelembapan tidak berlebih, serta pemeliharaan kesehatan tanaman melalui
pemupukan yang tepat. Ranting terserang harus segera dipotong dan dimusnahkan
untuk memutus siklus hidup hama. Pendekatan hayati juga dapat diterapkan,
seperti pemanfaatan jamur entomopatogen Beauveria bassiana atau Metarhizium
anisopliae yang efektif menekan populasi imago maupun larva
di dalam gerekan. Selain itu, penggunaan perangkap alkohol (etanol–metanol)
dapat membantu memantau sekaligus menekan populasi kumbang betina yang sedang
mencari inang.
Penggunaan
pestisida kimia berbahan aktif deltametrin atau imidakloprid
hanya dilakukan bila serangan mencapai ambang kendali, serta tetap menjadi
pilihan terakhir. Petani diharapkan bijak dalam penggunaannya dengan menerapkan
prinsip 6T—tepat jenis, tepat dosis/konsentrasi, tepat waktu, tepat cara, tepat
sasaran, dan tepat mutu—agar pengendalian tetap efektif sekaligus aman bagi
lingkungan dan pelaku budidaya.
Dengan
pemahaman yang baik terhadap identifikasi, bioekologi, dan pola serangan Xylosandrus
morigerus, diharapkan petani mampu melakukan tindakan antisipasi maupun
pengendalian secara tepat di lapangan. Upaya pemeliharaan tanaman, sanitasi
kebun, dan pemantauan rutin menjadi kunci utama dalam menekan kerugian akibat
serangan penggerek ranting. Penggunaan pestisida hendaknya dijadikan opsi
terakhir, serta harus diterapkan secara bijak, tepat sasaran, dan sesuai
rekomendasi teknis agar pengendalian tetap efektif serta aman bagi lingkungan
dan pelaku budidaya.
Daftar Pustaka:
Samsudin, S., & Widayat, W.
(2015). Ekologi dan Pengendalian Hama Penggerek pada Tanaman Perkebunan. Pusat
Penelitian Perkebunan Indonesia.
Saripudin, E., & Setiawati, W.
(2021). Pengelolaan OPT dengan pendekatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT).
Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 25(1), 34–45.
Supriyanto, A., & Yulianto, P.
(2016). Beauveria bassiana dan Metarhizium anisopliae sebagai Agens Hayati
Pengendali Serangga. Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan..