Oleh: I Wayan
Rusman, S.P.
Pengendali
Organisme Pengganggu Tumbuhan Ahli Muda
Balai
Penyuluhan Pertanian Kecamatan Kubutambahan
Tembakau
merupakan salah satu komoditi yang banyak ditanam di Indonesia. Beberapa jenis
tembakau, seperti tembakau temanggung mempunyai peranan yang cukup penting
dalam industri rokok yang berfungsi sebagai sumber pemberi rasa dan aroma dalam
rokok kretek. Namun disisi lain khususnya pada musim penghujan tanaman tembakau
mudah diserang oleh beberapa jenis penyakit diantaranya lanas dan layu bakteri,
yang mengakibatkan kematian tembakau lebih dari 50%. Layu mengacu pada
hilangnya kekakuan bagian tanaman non-kayu karena penurunan air yang ada dalam
sel. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yaitu kondisi kekeringan, suhu
yang sangat rendah sehingga vascular bundle tidak berfungsi, salinitas
tinggi, tanah jenuh, atau infeksi oleh bakteri, jamur dan nematoda. Kombinasi
dari dua atau lebih faktor yang menghasilkan manifestasi layu. Layu yang
disebabkan oleh patogen (bakteri, jamur, nematoda) melibatkan infeksi pada sistem
pembuluh tanaman. Salah satu penyakit penting yang mengakibatkan layu pada
tanaman tembakau adalah layu bakteri Ralstonia solanacearum.
Gejala Penyakit:
Penyakit
layu bakteri pada tanaman tembakau umumnya disebabkan oleh patogen dari spesies
Ralstonia solanacearum. Gejala yang ditimbulkan oleh layu bakteri yang
disebabkan oleh R. solanacearum dapat bervariasi di antara berbagai
inang yang rentan. Namun terdapat gejala umum yang ditimbulkan yaitu: i) layu
dan menguningnya daun muda baik secara sebagian (unilateral) maupun seluruhnya;
ii) munculnya cairan bakteri berwarna putih susu yang terakumulasi pada
permukaan batang, rimpang, atau umbi tanaman inang terinfeksi yang baru
dipotong (Denny, 2006).
Bioekologi Patogen:
Memahami
siklus hidup dari R. solanacearum menjadi suatu bagian penting untuk
menyusun strategi pengendalian. Secara ringkas, siklus hidup R. solanacearum
dapat dimulai dari terjadinya infeksi patogen ke dalam akar, baik secara
sendiri maupun melalui luka yang dibuat oleh nematoda peluka akar, atau akibat
serangga dan alat-alat mekanisasi pertanian. Setelah berhasil masuk ke dalam
jaringan akar, R. solanacearum akan berkembang biak di dalam pembuluh
kayu (xylem) dalam akar dan pangkal batang, kemudian menyebar ke seluruh bagian
tanaman. Akibat tersumbatnya pembuluh kayu oleh jutaan sel bakteri R.
solanacearum, transportasi air dan mineral dari tanah terhambat sehingga
tanaman menjadi layu dan mati. Faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan udara
dan air, serta faktor kebugaran tanaman sangat memengaruhi perkembangan
patogen. R. solanacearum berkembang pesat pada kondisi suhu udara 24-35
derajat celsius, tetapi perkembangannya menurun pada suhu di atas 35 atau di
bawah 16 derajat celsius.
Strategi Pengendalian:
1. Penggunaan
bibit sehat, bibit merupakan titik awal penyebaran patogen. Bibit terinfeksi R.
solanacearum dapat membawa bakteri secara laten tanpa gejala. Literatur
fitopatologi menekankan bahwa penggunaan bibit bebas penyakit adalah strategi
paling efektif dalam mengurangi inokulum awal di lapangan. Pemeriksaan
sanitasi, sertifikasi benih, dan perendaman benih dalam air panas (hot water
treatment) atau agen antibakteri hayati terbukti menekan keberadaan
bakteri.
2. Pergiliran
tanaman, rotasi tanaman berperan mengurangi sumber inokulum di tanah. R.
solanacearum bertahan baik pada tanaman inang solanaceae (cabai, tomat,
terung), sehingga rotasi harus melibatkan tanaman non-inang seperti: jagung,
padi, kacang-kacangan tertentu. Penggiliran selama 1–2 musim tanam terbukti
menurunkan populasi bakteri secara signifikan, meskipun efektivitasnya
dipengaruhi kondisi iklim dan jenis tanah.
3. Pengolahan
lahan, pengolahan tanah/lahan yang baik dapat menekan bakteri melalui aerasi
tanah yang lebih baik (bakteri ini sensitif terhadap oksigen tinggi),
pengeringan sementara (dry fallow), solarization (penjemuran tanah tertutup
plastik bening selama 4–6 minggu) menurut beberapa penelitian ini mampu
menurunkan populasi R. solanacearum hingga tingkat sangat rendah melalui
peningkatan suhu tanah diatas 45 derajat celsius dan efek biologi tambahan.
4. Pemupukan,
Status hara mempengaruhi ketahanan tanaman. Beberapa hasil riset menunjukkan:
pemberian kalsium meningkatkan ketahanan jaringan tanaman. Pupuk organik
seperti kompos matang dapat meningkatkan aktivitas mikroba antagonis di tanah.
Penggunaan nitrogen berlebihan (N tinggi, terutama bentuk amonium) cenderung
meningkatkan kerentanan tanaman. Pemupukan seimbang sangat dianjurkan dalam
sistem pengendalian terpadu.
5. Pengendalian
dengan Agen Pengendali Hayati (APH), Pseudomonas fluorescens merupakan
bakteri antagonis dan telah terbukti dapat menghasilkan siderofor yang
menghambat bakteri pathogen, menghasilkan antibiotik alami (2,4-DAPG,
pyoluteorin), dan merangsang ketahanan sistemik tanaman (ISR). Aplikasi
dilakukan melalui perendaman bibit, pengocoran, atau pencampuran dengan kompos
hayati. Banyak studi menunjukkan penurunan insiden layu bakteri hingga 40–70%.
Sumber Referensi:
Djatmiko, H. R., & Supriadi. (1994). Pengelolaan
penyakit layu bakteri pada tanaman tembakau. Warta Tembakau dan Serat,
5(1), 1–10.
Denny, T. P. (2006). Plant pathogenic Ralstonia
species. Dalam S. S. Gnanamanickam (Ed.), Plant-Associated Bacteria
(hlm. 573–644). Springer.
Prior, P., Allen, C., & Elphinstone, J. (2013). Bacterial
Wilt Disease and the Ralstonia solanacearum Species Complex. APS Press.
Semangun, H. (2000). Penyakit-Penyakit Tanaman
Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press.