(0362) 25090
distan@bulelengkab.go.id
Dinas Pertanian

Mengendalikan Layu Bakteri pada Tembakau: Pendekatan Bioekologi dan Pengendalian Hama Terpadu

Admin distan | 21 November 2025 | 995 kali


Oleh: I Wayan Rusman, S.P.

Pengendali Organisme Pengganggu Tumbuhan Ahli Muda

Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Kubutambahan

 

Tembakau merupakan salah satu komoditi yang banyak ditanam di Indonesia. Beberapa jenis tembakau, seperti tembakau temanggung mempunyai peranan yang cukup penting dalam industri rokok yang berfungsi sebagai sumber pemberi rasa dan aroma dalam rokok kretek. Namun disisi lain khususnya pada musim penghujan tanaman tembakau mudah diserang oleh beberapa jenis penyakit diantaranya lanas dan layu bakteri, yang mengakibatkan kematian tembakau lebih dari 50%. Layu mengacu pada hilangnya kekakuan bagian tanaman non-kayu karena penurunan air yang ada dalam sel. Hal ini terjadi karena beberapa alasan, yaitu kondisi kekeringan, suhu yang sangat rendah sehingga vascular bundle tidak berfungsi, salinitas tinggi, tanah jenuh, atau infeksi oleh bakteri, jamur dan nematoda. Kombinasi dari dua atau lebih faktor yang menghasilkan manifestasi layu. Layu yang disebabkan oleh patogen (bakteri, jamur, nematoda) melibatkan infeksi pada sistem pembuluh tanaman. Salah satu penyakit penting yang mengakibatkan layu pada tanaman tembakau adalah layu bakteri Ralstonia solanacearum.

Gejala Penyakit:

Penyakit layu bakteri pada tanaman tembakau umumnya disebabkan oleh patogen dari spesies Ralstonia solanacearum. Gejala yang ditimbulkan oleh layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum dapat bervariasi di antara berbagai inang yang rentan. Namun terdapat gejala umum yang ditimbulkan yaitu: i) layu dan menguningnya daun muda baik secara sebagian (unilateral) maupun seluruhnya; ii) munculnya cairan bakteri berwarna putih susu yang terakumulasi pada permukaan batang, rimpang, atau umbi tanaman inang terinfeksi yang baru dipotong (Denny, 2006).

Bioekologi Patogen:

Memahami siklus hidup dari R. solanacearum menjadi suatu bagian penting untuk menyusun strategi pengendalian. Secara ringkas, siklus hidup R. solanacearum dapat dimulai dari terjadinya infeksi patogen ke dalam akar, baik secara sendiri maupun melalui luka yang dibuat oleh nematoda peluka akar, atau akibat serangga dan alat-alat mekanisasi pertanian. Setelah berhasil masuk ke dalam jaringan akar, R. solanacearum akan berkembang biak di dalam pembuluh kayu (xylem) dalam akar dan pangkal batang, kemudian menyebar ke seluruh bagian tanaman. Akibat tersumbatnya pembuluh kayu oleh jutaan sel bakteri R. solanacearum, transportasi air dan mineral dari tanah terhambat sehingga tanaman menjadi layu dan mati. Faktor lingkungan seperti suhu, kelembapan udara dan air, serta faktor kebugaran tanaman sangat memengaruhi perkembangan patogen. R. solanacearum berkembang pesat pada kondisi suhu udara 24-35 derajat celsius, tetapi perkembangannya menurun pada suhu di atas 35 atau di bawah 16 derajat celsius.

 

 

Strategi Pengendalian:

1.      Penggunaan bibit sehat, bibit merupakan titik awal penyebaran patogen. Bibit terinfeksi R. solanacearum dapat membawa bakteri secara laten tanpa gejala. Literatur fitopatologi menekankan bahwa penggunaan bibit bebas penyakit adalah strategi paling efektif dalam mengurangi inokulum awal di lapangan. Pemeriksaan sanitasi, sertifikasi benih, dan perendaman benih dalam air panas (hot water treatment) atau agen antibakteri hayati terbukti menekan keberadaan bakteri.

2.      Pergiliran tanaman, rotasi tanaman berperan mengurangi sumber inokulum di tanah. R. solanacearum bertahan baik pada tanaman inang solanaceae (cabai, tomat, terung), sehingga rotasi harus melibatkan tanaman non-inang seperti: jagung, padi, kacang-kacangan tertentu. Penggiliran selama 1–2 musim tanam terbukti menurunkan populasi bakteri secara signifikan, meskipun efektivitasnya dipengaruhi kondisi iklim dan jenis tanah.

3.      Pengolahan lahan, pengolahan tanah/lahan yang baik dapat menekan bakteri melalui aerasi tanah yang lebih baik (bakteri ini sensitif terhadap oksigen tinggi), pengeringan sementara (dry fallow), solarization (penjemuran tanah tertutup plastik bening selama 4–6 minggu) menurut beberapa penelitian ini mampu menurunkan populasi R. solanacearum hingga tingkat sangat rendah melalui peningkatan suhu tanah diatas 45 derajat celsius dan efek biologi tambahan.

4.      Pemupukan, Status hara mempengaruhi ketahanan tanaman. Beberapa hasil riset menunjukkan: pemberian kalsium meningkatkan ketahanan jaringan tanaman. Pupuk organik seperti kompos matang dapat meningkatkan aktivitas mikroba antagonis di tanah. Penggunaan nitrogen berlebihan (N tinggi, terutama bentuk amonium) cenderung meningkatkan kerentanan tanaman. Pemupukan seimbang sangat dianjurkan dalam sistem pengendalian terpadu.

5.      Pengendalian dengan Agen Pengendali Hayati (APH), Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri antagonis dan telah terbukti dapat menghasilkan siderofor yang menghambat bakteri pathogen, menghasilkan antibiotik alami (2,4-DAPG, pyoluteorin), dan merangsang ketahanan sistemik tanaman (ISR). Aplikasi dilakukan melalui perendaman bibit, pengocoran, atau pencampuran dengan kompos hayati. Banyak studi menunjukkan penurunan insiden layu bakteri hingga 40–70%.

 

Sumber Referensi:

Djatmiko, H. R., & Supriadi. (1994). Pengelolaan penyakit layu bakteri pada tanaman tembakau. Warta Tembakau dan Serat, 5(1), 1–10.

Denny, T. P. (2006). Plant pathogenic Ralstonia species. Dalam S. S. Gnanamanickam (Ed.), Plant-Associated Bacteria (hlm. 573–644). Springer.

Prior, P., Allen, C., & Elphinstone, J. (2013). Bacterial Wilt Disease and the Ralstonia solanacearum Species Complex. APS Press.

Semangun, H. (2000). Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press.