Anjing merupakan salah satu hewan yang sering dijadikan peliharaan karena mempunyai indra penglihatan, penciuman, serta pendengaran dan digolongkan hewan yang setia. Anjing termasuk kategori hewan mamalia karnivora yang telah mengalami proses domestifikasi (pengadopsian prilaku hewan dari kehidupan liar ke dalam kehidupan manusia) sejak 15.000 tahun yang lalu berdasarkan bukti genetik seperti tes DNA dan penemuan fosil. Adanya proses domestifikasi berdampak terhadap perubahan pola prilaku anjing, dimana sebelumnya anjing yang bersifat liar berubah menjadi anjing yang jinak, bisa dilatih dan diajak bermain, serta tinggal bersama manusia. Pola prilaku tersebut masih bertahan sampai sekarang sehingga anjing kini tidak hanya sekedar hewan peliharaan, melainkan sudah menjadi “teman hidup” manusia.
Namun belakangan ini, status anjing saat ini tidak sebatas hanya sebagai hewan peliharaan manusia, melainkan mulai bergeser menjadi hewan “santapan” manusia. Hal tersebut tak terlepas dari maraknya peredaran penjualan daging anjing untuk dikonsumsi. Salah satu olahan daging anjing yang banyak beredar yaitu sate anjing. Tingginya konsumsi daging anjing saat ini tidak terlepas dari makin menjamurnya warung-warung RW (Rintek Wuuk, istilah dalam bahasa Manado yang berarti “bulu halus” alias sebutan lain untuk anjing). Hal tersebut juga didukung oleh mitos yang beredar di masyarakat tentang khasiat mengkonsumsi daging anjing yang mampu mengatasi penyakit asma, beberapa alergi, sampai meningkatkan gairah seksual. Padahal, jika ditinjau dari segi kesehatan, daging anjing justru membahayakan untuk dikonsumsi.
Bali sebagai salah satu destinasi pariwisata terkenal di Indonesia dengan segala keragaman seni dan budayanya, juga tidak terlepas dari fenomena maraknya peredaran daging anjing. Hal tersebut didasarkan dari jumlah warung RW yang masih tergolong tinggi. Dilansir dari laman Tribun Bali, per bulan Juli 2019 masih terdapat 33 warung RW yang menjual olahan daging anjing dan tersebar di 5 wilayah Bali, yaitu Badung (7 warung), Denpasar (6 warung), Karangasem (5 warung), Buleleng (9 warung), dan Jembrana (6 warung). Terkait dengan masih tingginya jumlah warung RW di Bali yang berimplikasi terhadap tingginya peredaran daging anjing, tentunya perlu segera dicarikan solusi guna mencegah agar fenomena ini tidak terjadi lagi di Bali. Instruksi Gubernur Bali Nomor 524/5913/DISNAKKESWAN/2019 tentang pelarangan perederan dan perdagangan daging anjing, merupakan salah satu solusi guna mencegah penjualan maupun peredaran daging anjing yang ada di Bali. Dalam instruksi tersebut, ditekankan bahwa daging anjing bukanlah bahan pangan asal hewan yang layak dikonsumsi oleh masyarakat. Hal tersebut dipertegas pula dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang definisi pangan. Dikutip dari laman Kesmavet Ditjen PKH Kementerian Pertanian, definisi pangan berdasarkan UU No. 18/2012 adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan perairan baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Jika merujuk pada definisi tersebut, maka daging anjing tidak termasuk kategori pangan karena anjing tidak termasuk kategori produk peternakan. Selain upaya dari Pemerintah Provinsi Bali dengan menerbitkan Instruksi Gubernur untuk mencegah penjualan daging anjing di Bali, tentunya diiperlukan pula sinergi dari masyarakat untuk turut sadar bahwa konsumsi daging anjing berbahaya bagi kesehatan. Setidaknya masyarakat bisa mulai sadar bahwa mitos terkait manfaat kesehatan dari mengkonsumsi daging anjing tidak benar adanya. Dikutip dari laman Kesmavet Ditjen PKH Kementerian Pertanian, Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan, 70% dari penyakit yang baru muncul pada manusia dalam kurun waktu puluhan tahun terakhir adalah penyakit yang berasal dari hewan dan hal ini sebagian besar disebabkan oleh upaya manusia untuk mencari sumber makanan yang berasal dari hewan. Maka dari itu, perlu dilakukan edukasi masyarakat untuk mematahkan mitos tersebut serta mengedukasi bahwa daging anjing bukan hanya tidak layak dikonsumsi manusia (bukan kategori pangan), melainkan juga beresiko membawa penyakit seperti E. Coli, Salmonella, Kolera dan Trichinellosis. Selain itu, penanganan anjing mulai dari penangkapan sampai proses penyembelihan di daerah endemis rabies akan meningkatkan resiko terpapar rabies sekaligus meningatkan penyebaran rabies. Apalagi melihat kondisi Bali saat ini yang belum sepenuhnya bebas rabies, tentunya perilaku mengedarkan serta mengonsumsi daging anjing hanya akan menghambat upaya menuju Bali bebas rabies. Oleh sebab itu, mari bersama-sama untuk selalu mengedukasi sesama dan menggaungkan “Stop Konsumsi Daging Anjing!” guna membantu program Pemerintah Provinsi Bali untuk “Bali Bebas Rabies’.
= BPP SERIRIT =
Sumber :
http://kesmavet.ditjenpkh.pertanian.go.id/index.php/berita/tulisan-ilmiah-populer/205-tomohon
https://news.detik.com/berita/d-4339889/surat-edaran-kementan-daging-anjing-bukan-pangan
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/71257/potongan/S1-2014-300316-chapter1.pdf
Download disini