(0362) 25090
distan@bulelengkab.go.id
Dinas Pertanian

Pertanian Lahan Kering

Admin distan | 07 November 2013 | 87066 kali

Oleh: Ir. IGA Maya Kurnia, M.Si (PP Madya pada Distanak Kabupaten Buleleng)

Pertanian Lahan Kering merupakan budidaya tanaman pertanian di lahan yang kurang air dan tanah yang kurang subur. Lahan kering ditandai dengan rendahnya curah hujan ( < 250 - 300 mm/tahun), indek kekeringan (rasio)/perbandingan antara curah hujan dan evapotranspirasi kurang dari 0.2), variasi tanaman sangat terbatas (hanya semak belukar, rerumputan dan pepohonan kecil di daerah tertentu), suhu yang sangat tinggi (+49oC pada musim panas), tekstur tanah adalah pasir dan memiliki salinasi yang tinggi pada tanah dan air tanahnya yang diakibatkan oleh tingginya evaporasi dan infiltrasi. Lahan kering ini terjadi sebagai akibat dari curah hujan yang sangat rendah, sehingga keberadaan air sangat terbatas, suhu udara tinggi dan kelembabannya rendah. Lahan kering sering dijumpai pada daerah dengan kondisi antisiklon yang permanen, seperti daerah yang terdapat pada antisiklon tropisme. Daerah tersebut biasanya ditandai dengan adanya perputaran angin yang berlawanan arah jarum jam di utara garis khatulistiwa dan perputaran angin yang searah jarum jam di daerah selatan garis khatulistiwa. Terdapat tiga jenis iklim di daerah lahan kering, yakni (1).Iklim Mediterania : hujan terjadi di musim gugur dan dingin, (2).Iklim Tropisme : hujan terjadi di musim panas, (3).Iklim Kontinental : hujan tersebar merata sepanjang tahun.

Kondisi ekstrim dan tidak bersahabat yang terjadi di daerah lahan kering tersebut menyebabkan beberapa kendala untuk membudidayakan tanaman pertanian, beberapa kendala tersebuat adalah sebagai berikut :(a).Air sebagai faktor pembatas dalam memproduksi tanaman pertanian, (b).Musim tanam yang sangat pendek dan hanya beberapa tanaman yang dapat dibudidayakan, (c).Sodium Klorida (NaCl) sebagai penyebab utama terjadinya tanah mengandung kadar garam tinggi, (d).Daya kapilaritas tanaman yang sangat tinggi akibat tingginya evaporasi menyebabkan tanah mengandung kadar garam yang tinggi
Adapun beberapa solusi yang dapat diaplikasikan untuk mengatasi kendala-kendala yang ada tersebut, yakni : (1).Mencari sumber mata air alternatif, (2).Menginformasikan kondisi lahan kering dan cara penanggulangannya kepada pihak pemerintah, swasta dan masyarakat, (3).Menggunakan tanaman yang resisten dan sistem irigasi yang efektif dan efisien, (4).Manajemen sumberdaya air secara terpadu, (5).Meningkatkan sistem pemanenan air hujan.

Istilah pertanian lahan kering menurut Tejoyuwono (1989) dalam Suwardji (2003) menyarankan beberapa pengertian sebagai berikut : untuk kawasan atau daerah yang memiliki jumlah evaporasi potensial melebihi jumlah curah hujan actual atau daerah yang jumlah curah hujannya tidak mencukupi untuk usaha pertanian tanpa irigasi disebut dengan “Daerah Kering” sedangkan untuk lahan dengan draenase alamiah lancar dan bukan merupakan daerah dataran banjir, rawa, lahan dengan air tanah dangkal, atau lahan basah alamiah lain istilahnya lahan atasan atau Upland, dan untuk lahan pertanian yang diusahakan tanpa penggenangan, istilahnya lahan kering. Kesepakatan pengertian lahan kering dalam seminar nasional pengembangan wilayah lahan kering ke 3 di Lampung : (upland dan rainfed) adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi (Suwardji, 2003)). Definisi yang diberikan oleh soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang.  Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang mencapai 52,5 juta ha (Haryati, 2002) untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu dilakukan. Menurut Simposium Nasional tentang Lahan Kering di Malang (1991) penggunaan lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang sedang tidak diusahakan, ladang dan padang rumput.

Teknologi Konservasi Air pada Pertanian Lahan Keringpada prinsipnya adalah penggunaan air yang jatuh ke tanah seefisien mungkin dan pengaturan waktu aliran yang tepat, sehingga tidak terjadi banjir yang merusak pada musim hujan dan terdapat cukup air pada musim kemarau. Konservasi air dapat dilakukan dengan (a) meningkatkan pemanfaatan dua komponen hidrologi, yaitu air permukaan, dan air tanah dan (b) meningkatkan efisiensi pemakaian air irigasi.Pengelolaan air permukaan (surface water management) meliputi (1) pengendalian aliran permukaan; (2) pemanenan air (water harvesting); (3) meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah; (4) pengolahan tanah; (5) penggunaan bahan penyumbat tanah dan penolak air; dan (6) melapisi saluran air. Pengelolaan air bawah permukaan tanah (sub-surface water management) dapat dilakukan dengan (1) perbaikan drainase; (2) pengendalian perkolasi (deep percolation) dan aliran bawah permukaan (sub-surface flow); dan (3) perubahan struktur tanah lapisan bawah. Perbaikan drainase akan meningkatkan efisiensi pemakaian air oleh tanaman, karena hilangnya air yang berlebih (excess water) akan memungkinkan akar tanaman berkembang lebih luas ke lapisan tanah yang lebih dalam daripada hanya terbatas di lapisan atas yang dangkal yang akan cepat kering jika permukaan air tanah menurun. Teknologi konservasi air dirancang untuk meningkatkan masuknya air ke dalam tanah melalui infiltrasi dan pengisian kantong-kantong air di daerah cekungan serta mengurangi kehilangan air melalui evaporasi. Untuk mencapai kedua hal tersebut upaya-upaya konservasi air yang dapat diterapkan adalah teknik pemanenan air (water harvesting), dan teknologi pengelolaan kelengasan tanah. Penerapan teknologi panen air dimaksudkan untuk mengurangi volume air aliran permukaan dan meningkatkan cadangan air tanah serta ketersediaan air bagi tanaman. Dengan demikian pengelolaan lahan kering tidak semata-mata tergantung kepada air hujan, melainkan dapat dioptimalkan melalui pemanfaatan sumber air permukaan (surface water) maupun air tanah (groundwater).

Rekomendasi :
Teknologi Konservasi Air pada Pertanian Lahan Kering (Subagyono et al., 2004). Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. 2004. Editor: Kurnia, et al.).
Text, Ch. 15, desertification in Ch. 16, pp. 333-334. Hammond, A.L. 1990. World resources, 1990-91. Oxford University Press, New York. Ch. 1.    Tivy, 1992. Chs. 12,13.English version