PENDAHULUAN
Sumber daya peternakan, khususnya sapi potong merupakan salah satu sumber daya alam yang dapat diperbaharui (renewable) dan berpotensi untuk dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi. Menurut Saragih dalam Mersyah (2005), ada beberapa pertimbangan perlunya mengembangkan usaha ternak sapi potong, yaitu: 1) budi daya sapi potong relatif tidak bergantung pada ketersediaan lahan dan tenaga kerja yang berkualitas tinggi, 2) memiliki kelenturan bisnis dan teknologi yang luas dan luwes, 3) produk sapi potong memiliki nilai elastisitas terhadap perubahan pendapatan yang tinggi, dan 4) dapat membuka lapangan pekerjaan.
Pembangunan peternakan ditujukan untuk meningkatkan produksi hasil ternak yang sekaligus meningkatkan pendapatan peternak, menciptakan lapangan pekerjaan serta meningkatkan populasi dan mutu genetik ternak. Berdasarkan dan mengacu pada visi pembangunan peternakan, maka telah digariskan Misi Pembangunan Peternakan yaitu : 1) memfasilitasi penyediaan pangan asal ternak yang cukup baik secara kuantitas maupun kualitasnya, 2) memberdayakan sumberdaya manusia peternakan agar dapat menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, 3) menciptakan peluang ekonomi untuk meningkatkan pendapatan peternakan, 4) membantu menciptakan lapangan kerja di bidang agribisnis peternakan dan 5) melestarikan serta memanfaatkan sumber-daya alam pendukung peternakan (Anonimous, 2001).
Sementara itu tujuan khusus pembangunan peternakan tersebut adalah 1) meningkatkan kuantitas dan kualitas bibit ternak, 2) mengembangkan usaha budidaya untuk meningkatkan populasi, produktivitas dan produksi ternak, 3) meningkatkan dan mempertahankan status kesehatan hewan, 4) meningkatkan jaminan keamanan pangan hewani yang ASUH (aman, sehat, utuh dan halal) dan 5) meningkatkan pelayanan prima pada masyarakat peternakan (Bahri et al., 2008).
PEMBAHASAN
Permasalahan dalam perkembangan usaha ternak potong
Berbagai kebijakan dan program yang terkait dengan pengembangan usaha ternak sapi potong telah diluncurkan dan diimplementasikan, baik secara nasional maupun di tingkat daerah. Dalam implementasinya, program dan kebijakan tersebut masih belum mampu mengatasi kesenjangan antara permintaan dan penawaran. Menurut Ilham dan Hadi (2001), hal ini disebabkan oleh :
Seandainyapun sampai, peternak tidak mengaplikasikannya, Keberhasilan penerapan teknologi peternakan belum merata.
Sapi lokal Indonesia memiliki bobot potong relatif rendah (sapi bali, sapi madura, sapi PO, sapi aceh, sapi pesisir) dibandingkan dengan sapi Bos taurus akibat terjadinya persilangan dalam (in breeding) dan manajemen pemeliharaan yang belum efisien dan tingkat kematian ternak yang tinggi, terutama kematian pedet yang mencapai 20-40% dan induk berkisar antara 10-20%.
Terjadinya pemotongan sapi betina produktif selama ini penyebab utamanya adalah motif ekonomi bagi pemiliknya yang rata-rata income pendapatannya masih rendah dengan tingkat kepemilikan sapi potong hanya rata-rata 2-3 ekor. Para peternak cenderung akan menjual ternak mereka ketika menghadapi permasalahan finansial dengan pertimbangan bahwa sapi potong merupakan asset yang paling mudah dijual tanpa mempertimbangkan produktifitas ternak tersebut.
Upaya pengembangan sapi potong telah lama dilakukan oleh pemerintah. Nasoetion dalam Winarso et al. (2005) menyatakan bahwa dalam upaya pengembangan sapi potong, pemerintah menempuh dua kebijakan, yaitu ekstensifikasi dan intensifikasi. Pengembangan sapi potong secara ekstensifikasi menitikberatkan pada peningkatan populasi ternak yang didukung oleh pengadaan dan peningkatan mutu bibit, penanggulangan penyakit, penyuluhan dan pembinaan usaha, bantuan perkreditan, pengadaan dan peningkatan mutu pakan, dan pemasaran. Menurut Isbandi (2004), penyuluhan dan pembinaan terhadap petani-peternak dilakukan untuk mengubah cara beternak dari pola tradisional menjadi usaha ternak komersial dengan menerapkan cara-cara zooteknik yang baik. Zooteknik tersebut termasuk saptausaha beternak sapi potong, yang meliputi penggunaan bibit unggul, perkandangan yang sehat, penyediaan dan pemberian pakan yang cukup nutrien, pengendalian terhadap penyakit, pengelolaan reproduksi, pengelolaan pascapanen, dan pemasaran hasil yang baik.
Keberhasilan pengembangan usaha ternak sapi potong ditentukan oleh dukungan kebijakan yang strategis yang mencakup tiga dimensi utama agribisnis, yaitu kebijakan pasar input, budi daya, serta pemasaran dan perdagangan dengan melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat peternak. Dari ketiga dimensi tersebut, kebijakan pemasaran (perdagangan) memegang peranan kunci. Keberhasilan kebijakan pasar outputakan berdampak langsung terhadap bagian harga dan pendapatan yang diterima pelaku agribisnis. Kondisi ini akan memantapkan proses adopsi teknologi, peningkatan produktivitas, dan pada akhirnya menjamin keberlanjutan investasi.
Agar pengembangan sapi potong berkelanjutan, Winarso et al. (2005) mengemukakan beberapa saran sebagai berikut :
Usaha untuk mencapai tujuan pengembangan sapi potong dapat dilaksanakan dengan tiga pendekatan yaitu ; 1) pendekatan teknis dengan meningkatkan kelahiran, menurunkan kematian, mengontrol pemotongan ternak dan perbaikan genetik ternak, 2) pendekatan terpadu yang menerapkan teknologi produksi, manajemen ekonomi, pertimbangan sosial budaya yang tercakup dalam “sapta usaha peternakan”, serta pembentukan kelompok peternak yang bekerjasama dengan instansi terkait, 3) pendekatan agribisnis dengan tujuan mempercepat pengembangan peternakan melalui integrasi dari keempat aspek yaitu lahan, pakan, plasma nutfah dan sumberdaya manusia (Gunardi 1998).
Peningkatan produksi daging sapi
Produksi daging sapi dalam negeri yang belum mampu memenuhi permintaan tersebut terkait dengan adanya berbagai permasalahan dalam pengembangan sapi potong. Beberapa permasalahan tersebut adalah:
Strategi pembangunan peternakan dalam rangka peningkatan produksi daging adalah:
Upaya khusus tersebut meliputi antara lain pembinaan finansial dan teknik serta aspek manajemen. Pembinaan manajemen yang baik, terarah, dan konsisten terhadap peternak sapi potong sebagai mitra akan meningkatkan kinerja usaha, yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, melalui kemitraan, baik yang dilakukan secara pasif maupun aktif akan menumbuhkan jalinan kerja sama dan membentuk hubungan bisnis yang sehat
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
DAFTAR PUSTAKA
Anonimuous . 2001. Identifi- kasi dan Kajian Agribisnis Peternakan di 13 Provinsi di Indonesia. Volume III Buku I, III, dan IV, Nexus Indo Consultama, Jakarta. hlm. 467.
Bahri, S., B. Setiadi, dan I. Inounu. 2004. Arah penelitian dan pengembangan peternakan tahun 2005-2009. hlm. 6-10. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 4-5 Agustus 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor.
Eni, S.R., N. Amali, Sumanto, A. Darmawan, dan A. Subhan. 2006. Pengkajian integrasi usaha tani jagung dan ternak sapi di lahan kering Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 9(2): 129139.
Gordeyase, I.K.M., R. Hartanto, dan W.D. Pratiwi. 2006. Proyeksi daya dukung pakan limbah tanaman pangan untuk ternak rumi- nansia di Jawa Tengah. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32(4): 285-292.
Ilham,
(Oleh : Putu Suwardiyasa, SP, M.I.L)