Oleh. Ir. IGA. Maya Kurnia, MSi/PP.Madya Distanak Kab.Buleleng
Tanaman pangan dimanapun berada, selalu tergantung pada musim. Musim adalah selang waktu dengan cuaca yang paling sering terjadi atau mencolok, misalnya musim hujan adalah rentang waktu yang banyak terjadi hujan, musim kemarau rentang waktu yang sedikit hujan, musim dingin rentang waktu dengan suhu udara selalu rendah dan musim panas rentang waktu dengan suhu udara selalu tinggi. Di Indonesia yang paling dikenal adalah musim yang didasarkan atas seringnya atau banyaknya curah hujan sehingga dikenal musim hujan dan musim kemarau. Untuk menandai musim hujan dan musim kemarau tersebut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menggunakan kriteria banyaknya curah hujan selama setiap sepuluh hari atau yang sering disebut dengan "dasarian". Penetapan dasarian dimulai dari tanggal 1 Januari. Dasarian pertama adalah satuan waktu sepuluh hari dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 10 Januari, dasarian kedua dari tanggal 11 Januari sampai sampai dengan tanggal 20 Januari. Untuk bulan yang memiliki jumlah hari 31, dasarian ketiga ditetapkan dari tanggal 21 sampai dengan tanggal 31, sedangkan untuk bulan Februari, dasarian ketiga dari tanggal 21 sampai dengan tanggal 28 atau 29 Februari. Awal musim didefinisikan sebagai dasarian awal mulainya musim. (BMKG) mengeluarkan aturan bahwa untuk permulaan musim kemarau, jumlah curah hujan dalam satu dasarian (10 hari) kurang dari 50 milimeter dan diikuti oleh beberapa dasarian berikutnya. Permulaan musim kemarau, bisa terjadi lebih awal (maju), sama, atau lebih lambat (mundur) dari normalnya (angka rata-rata sekitar Tahun 1981-2010). Sedangkan untuk permulaan musim hujan, jumlah curah hujan dalam satu dasarian (10 hari) sama atau lebih dari 50 milimeter dan diikuti oleh beberapa dasarian berikutnya. Permulaan musim hujan, bisa terjadi lebih awal (maju), sama, atau lebih lambat (mundur) dari normalnya (angka rata-rata Tahun 1981-2010). Awal musim hujan atau kemarau di setiap daerah untuk setiap tahunnya berbeda-beda tergantung pada faktor kondisi dan tatanan cuaca lainnya dalam skala besar. Panjang musim pun di setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan letak geografisnya, unsur cuaca/iklim Indonesia mempunyai variasi musiman. Variasi musiman tersebut dapat jelas terlihat pada curah hujan. Oleh karena itu di Indonesia dikenal dengan musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim tersebut dibedakan dari banyaknya curah hujan. Pada umumnya sewaktu matahari berada di belahan bumi selatan dari bulan Oktober sampai Maret, curah hujan akan lebih banyak jika dibandingkan sewaktu matahari berada di belahan bumi utara dari bulan April sampai september. Namun, di daerah-daerah tertentu belum tentu demikian karena adanya faktor lokal.
AkhmadFadholi/BMKGhttp://www.ift.or.id/2012/11/hujan-dan-kemarau-menurut-badan.html#sthash.INQVVUhZ.dpuf
Disampaikan pula bahwa terjadinya anomali iklim (penyimpangan iklim) disebabkan suhu permukaan laut di perairan Indonesia lebih hangat dari biasanya/normal, sehingga pertumbuhan uap air cukup banyak. Anomali di kawasan Indonesia yang berdampak hingga akhir tahun, dimana kondisi curah hujan dan musim kemarau akan cenderung basah. Kejadian anomali tersebut disebabkan menghangatnya suhu muka laut di perairan Indonesia yang menyebabkan curah hujan tinggi di sebagian wilayah Indonesia hingga saat ini. Lemahnya arus massa udara dari Australia membuat uap air tak terdorong ke utara/daratan Asia. Massa udara ini tertahan di atas Indonesia.
http://pusdatin.setjen.deptan.go.id/ditjentp/berita-kemarau-basah.html#ixzz2m8K1hh1S
'Kemarau Basah' adalah sebutan untuk fenomena tingginya intensitas curah hujan pada musim kemarau. Dari sekian banyak parameter iklim, salah satu yang dapat memberi penjelasan secara umum kondisi seperti itu adalah gambaran anomali suhu permukaan laut di sekitar Indonesia dan kondisi regional Pasifik dan Lautan Hindia. Suhu permukaan laut dapat memberi gambaran umum pembentukan awan dan dinamika atmosfernya. Suhu permukaan laut yang lebih hangat dari rata-rata bisa menggambarkan secara umum kecenderungan aktifnya pembentukan awan di wilayah Indonesia, yang berarti juga meningkatnya peluang hujan. Perbedaan suhu permukaan laut secara regional juga memberikan gambaran dinamika atmosfernya yang terkait dengan kecenderungan pengalihan daerah konveksi pembentukan awan. Pada saat suhu permukaan laut di Pasifik menghangat cukup tinggi selama beberapa bulan, maka terjadilah fenomena El Nino, dengan kecenderungan daerah konveksi pembentukan awan bergeser ke wilayah sekitar Pasifik Timur (di Benua Amerika). Di Indonesia cenderung miskin awan dan berpotensi kekeringan, seperti tahun 1997. Sebaliknya bila suhu permukaan laut di Pasifik cenderung menurun cukup rendah selama beberapa bulan, maka terjadilah fenomena La Nina, dengan kecenderungan wilayah konveksi pembentukan awan bergeser ke wilayah Indonesia. Tentunya itu berdampak banyaknya hujan di Indonesia. Kondisi El Nino-La Nina terkait juga dengan kondisi dinamika atmosfer Pasifik Selatan, sehingga fenomenanya sering digabung sebagai ENSO (El Nino-Southern Oscillation). Sedangkan musim kemarau adalah periode bulan atau tahun ketika sebuah wilayah mengalami kekurangan pasokan airnya. Umumnya, terjadi ketika suatu daerah menerima curah hujan di bawah rata-rata. Hal ini memiliki dampak besar pada ekosistem dan pertanian dari daerah yang mengalaminya. Meskipun kekeringan dapat bertahan selama beberapa tahun, bahkan pendek, kekeringan intens dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan dan merugikan ekonomi lokal. Musim kemarau adalah fenomena global dan berdampak luas pada sektor pertanian. PBB memperkirakan bahwa area tanah yang subur ukuran Ukraina hilang setiap tahun karena kekeringan, penggundulan hutan, dan ketidakstabilan iklim. Panjang periode kekeringan telah lama menjadi pemicu utama untuk migrasi massa dan memainkan peran kunci dalam sejumlah migrasi sedang berlangsung dan krisis kemanusiaan lain di Afrika dan Sahel. Musim kemarau dapat berdampak signifikan terhadap lingkungan, pertanian, kesehatan, dan juga berdampak pada ekonomi dan sosial. Efeknya bervariasi sesuai dengan kerentanan. Sebagai contoh, petani subsisten lebih cenderung untuk bermigrasi selama kekeringan karena mereka tidak memiliki sumber pangan alternatif. Wilayah dengan populasi yang bergantung pada sebagai sumber makanan utama lebih rentan terhadap kekeringan memicu kelaparan. Kekeringan juga dapat mengurangi kualitas air, karena aliran air yang lebih rendah mengurangi dilusi polutan dan meningkatkan kontaminasi sumber air yang tersisa. Namun dampak dari kekeringan secara umum meliputi : (1). Penurunan pertumbuhan tanaman atau produksi hasil dan daya dukung ternak; (2). Debu badai, ketika kekeringan melanda wilayah dapat menyebabkan penggurunan dan erosi; (3). Karena kurangnya air untuk irigasi Kelaparan; (4). Kerusakan habitat, mempengaruhi baik satwa yang berada di daratan maupun perairan; (5). Malnutrisi, penyakit dehidrasi dan penyakit sejenis; (6). Migrasi, sehingga perpindahan pengungsi internal dan internasional; (7). Mengurangi produksi listrik karena aliran air berkurang melalui bendungan hidroelektrik; (8). Kekurangan air untuk pengguna industry; (9). Migrasi ular dan peningkatan gigitan ular; (10). Kerusuhan social; (11). Perang atas sumber daya alam, termasuk air dan makanan; (12). Kebakaran hutan, seperti kebakaran hutan Australia, yang lebih umum selama waktu musim kemarau
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2242046-pengertian-musim-kemarau/#ixzz3CNg2YHfW
Sifat musim kemarau yang basah semestinya menguntungkan petani. Contohnya pada Juli 2013 yang seharusnya merupakan puncak musim kemarau, intensitas curah hujan bulanan di sebagian besar wilayah Indonesia masih tergolong tinggi, yakni 75 hingga 575 milimeter berdasarkan pengamatan Satelit TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Ini berarti dengan curah hujan sepanjang tahun yang cukup bahkan berlebih seharusnya petani dapat melakukan panen lebih sering sebab musim tanam pun akan lebih intens dibandingkan biasanya terutama untuk sawah tadah hujan. Untuk persawahan yang dikelola dengan sistem irigasi, panen padi seharusnya akan lebih banyak diperoleh mengingat ketersediaan air untuk irigasi melimpah. Secara umum, dalam setahun terdapat tiga kali periode musim tanam dan tiga kali panen untuk pertanian yang memiliki pola irigasi. Hal ini berdasarkan kalender musim tanam yang dikeluarkan oleh PSDA (Pengelolaan Sumber Daya Air), Kementerian Pekerjaan Umum. Musim tanam pertama dilakukan pada Oktober dan panen pada Januari. Musim tanam kedua dilakukan pada Februari dan panen pada Mei. Musim tanam ketiga diawali pada Juni dan panen pada September. Hujan yang berlimpah pada periode musim kemarau (April hingga September) seharusnya akan berdampak pada peningkatan produksi panen pada musim tanam ketiga (Juni-September). Sayangnya, ini tidak terjadi. Petani justru mengalami kerugian karena gagal panen akibat banjir dan serangan hama. Bencana tersebut bahkan mengakibatkan turunnya produksi dan melonjaknya harga akibat spekulasi. Meski terjadi lonjakan harga padi, hal ini tidak berbanding lurus dengan pendapatan petani yang justru menurun, bahkan ada yang menderita kerugian total. Secara nasional bahkan keadaan semacam ini dipercaya berpotensi mengancam ketersediaan pangan (Kompas, 19/7/2013).
Ada beberapa hal yang menyebabkan ancaman terhadap menurunnya produksi pertanian. Pertama, minimnya pengetahuan dan pemahaman petani mengenai anomali iklim yang terjadi pada musim kemarau tahun ini. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa informasi akurat mengenai iklim dan cuaca sangat dibutuhkan petani. Selama ini mereka melakukan masa tanam hanya berbekal dari pengetahuan sederhana mengenai pergantian musim yang dikaitkan dengan tanda-tanda alam. Misalnya dengan mengamati rasi bintang, masa berbunga tanaman randu, nyanyian suara serangga dan tenggoret sebagai tanda pergantian musim. Satu-satunya pengetahuan modern yang menjadi andalan petani adalah kalender musim tanam yang dikeluaran Kementerian Pertanian dan Kementerian Pekerjaan Umum. Kalender yang menjadi acuan petani untuk memulai tanam padi tersebut dibuat berdasarkan hasil pencatatan alat penakar curah hujan yang dipasang di area persawahan mereka. Padahal fenomena yang bersifat anomali seperti kemarau basah yang terjadi, kalender semacam itu tidak lagi bisa menjadi panduan terpercaya. Apalagi, tingkat ketidakpastian kondisi iklim semakin besar dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, informasi iklim yang akurat sangat diperlukan petani dalam menghadapi ketidakpastian tersebut. Kedua, minimnya sosialisasi dari pemerintah, dalam hal ini lembaga atau kementerian terkait yang dapat menjelaskan anomali iklim yang sedang terjadi. Seharusnya, pemerintah melalui beberapa kementerian terkait mengintegrasikan dan memublikasikan informasi kepada petani, yang tidak hanya bersifat pengetahuan ilmiah mengenai kondisi iklim dewasa ini, tetapi juga tentang informasi yang bersifat arahan teknis dan aplikatif yang langsung dapat diterapkan petani untuk beradaptasi dengan kondisi yang ada. Misalnya, informasi mengenai kemarau basah juga dibarengi dengan arahan nyata agar petani mengubah jenis tanaman dari jagung atau kedelai yang biasa ditanam pada saat kemarau menjadi padi. Dengan melihat kondisi ini, sebaiknya petani segera mempersiapkan diri menyongsong musim tanam padi selanjutnya. Sepanjang musim kemarau yang umumnya terjadi hingga Oktober, hujan masih akan sering terjadi dengan intensitas ringan hingga sedang. Pada November musim hujan akan menjelang sehingga curah hujan akan mengalami peningkatan signifikan.
Artikel ERMA YULIHASTIN Peneliti Sains Atmosfer pada Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim Lapan Bandung, Kompas, 14 September 2010.