Oleh : Ir. I Gusti Ayu Maya Kurnia, MSi/PP. Madya pada Distanak Kab. Buleleng
Dalam kegiatan budidaya pertanian baik dalam pengembangan tanaman pangan, holtikultura, peternakan maupun perkebunan, ketersediaan air merupakan faktor yang sangat strategis. Tanpa adanya dukungan ketersediaan air yang sesuai dengan kebutuhan baik dalam dimensi jumlah, mutu, ruang maupun waktunya, maka dapat dipastikan kegiatan budidaya tersebut akan berjalan dengan tidak optimal. Selain itu yang paling penting adalah manusia sangat membutuhkan air untuk memenuhi segala kebutuhannya. Oleh karena itu, perlu dilakukannya pengembangan sumber-sumber air. Sebagaimana diketahui, setiap daerah di Indonesia tidak seluruhnya mendapatkan curah hujan yang sama, dengan demikian akan terdapat dua daerah ada yang curah hujannya telah mampu mencukupi kebutuhan pengairan dan ada daerah dengan lahan yang memerlukan pengairan (irigasi) bagi pertaniannya. Untuk itu, diperlukan pengelolaan air agar air yang tersedia mampu digunakan seefektif dan seefisien mungkin agar mampu memenuhi kebutuhan pertanian, serta kebutuhan lainnya.
Ketika musim kemarau datang, keresahan petani lahan kering semakin meningkat. Terbatasnya persediaan air irigasi untuk usaha taninya selalu menjadi masalah. Salah satu kendala pada daerah ini adalah terbatasnya air untuk tanaman, oleh karena itu dibutuhkan sistem irigasi pada saat terjadi saat-saat kering. Berdasarkan analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa, ada kecenderungan terbentuknya pola iklim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Dampak terjadinya perubahan iklim terhadap sektor pertanian adalah bergesernya awal musim kemarau yang menyebabkan berubahnya pola tanam karena adanya kekeringan. Penyimpangan iklim, menyebabkan produksi uap air dan awan di sebagian Indonesia bervariasi dari kondisi sangat tinggi ke rendah atau sebaliknya. Ini semua menyebabkan penyimpangan iklim terhadap kondisi normalnya. Jumlah uap air dan awan yang rendah akan berpengaruh terhadap curah hujan, apabila curah hujan dan intensitas hujan rendah akan menyebabkan kekeringan. Kekeringan juga dapat dipengaruhi oleh adanya gangguan hidrologis seperti: 1) terjadinya degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS) terutama bagian hulu mengalami alih fungsi lahan dari bervegetasi menjadi non vegetasi yang menyebabkan terganggunya sistem peresapan air tanah; 2) kerusakan hidrologis daerah tangkapan air bagian hulu menyebabkan waduk dan saluran irigasi terisi sedimen, sehingga kapasitas tampung air menurun tajam; 3) rendahnya cadangan air waduk yang disimpan pada musim penghujan akibat pendangkalan menyebabkan cadangan air musim kemarau sangat rendah sehingga memicu terjadinya kekeringan. Disamping itu juga, kekeringan dapat disebabkan karena kekeringan agronomis, terjadi sebagai akibat kebiasaan petani memaksakan menanam padi pada musim kemarau dengan ketersediaan air yang tidak mencukupi. Kekeringan umumnya terjadi di wilayah-wilayah sebagai berikut: 1).Areal pertanian tadah hujan; 2).Daerah irigasi golongan; 3).Daerah gadu liar; dan 4).Daerah endemik kekeringan
Pengelolaan wilayah kekeringan secara umum dibagi menjadi tiga kategori yaitu : 1).Wilayah yang sawahnya mengalami kekeringan pada lokasi yang sama, daerah tersebut umumnya terjadi di bagian hilir daerah irigasi, daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) dan daerah sawah tadah hujan yang terdapat sumber air alternatif (air buangan, air tanah dangkal); 2).Wilayah yang areal sawahnya mengalami kekeringan lebih besar atau sama dengan areal yang aman kekeringan, daerah tersebut bisa terjadi di bagian tengah/hilir daerah irigasi dan daerah yang sumber irigasinya hanya mengandalkan debit sungai (tidak terdapat waduk) serta tidak kesulitan mendapatkan sumber air alternatif untuk irigasi; dan
3).Wilayah dimana areal sawahnya mengalami rawan kekeringan lebih kecil dari areal yang aman, daerah tersebut umumnya masih terdapat sumber air alternatif untuk irigasi walaupun jumlahnya masih kurang. Kekeringan perlu dikelola dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut : 1).Terus meningkatnya luas sawah yang terkena kekeringan sehingga berdampak pada penurunan produksi sampai gagal panen; 2).Terjadinya kekeringan pada tahun yang sama saat terjadi anomali iklim maupun kondisi iklim normal; 3).Periode ulang anomali iklim cenderung acak sehingga sulit untuk dilakukan adaptasi; 4).Kekeringan berulang pada tahun yang sama di lokasi yang sama; 5) dampak anomali iklim bervariasi antara wilayah; 6).Kekeringan hanya dapat diturunkan besarannya dan tidak dapat dihilangkan. Dengan pertimbangan tersebut sehingga diperlukan pengelolaan terencana dengan semua pemangku kepentingan.
Dari beberapa penyebab kekeringan tersebut dibutuhkan suatu sistem pengaturan air/pengairan (irigasi) yang mampu memenuhi kebutuhan tanaman pertanian akan air pada saat-saat air hujan tidak dapat lagi diharapkan. Untuk mengantisipasi dampak kemarau atas ketersediaan air untuk pertanian, penerapan beberapa Teknologi Tepat Guna akan sangat membantu diantaranya adalah dengan Teknologi Embung dan Sistem Irigasi Dam Parit (Channel Reservoir)
Teknologi Embung ini pernah digalakkan beberapa tahun lalu dan telah terbukti berhasil pada daerah Semi Arid Tropic di dunia. Di beberapa tempat di Indonesia teknologi ini sudah diterapkan, khususnya di Kabupaten Buleleng. Embung adalah kolam penampung air hujan untuk mensuplai air di musim kemarau, menurunkan volume aliran permukaan sekaligus meningkatkan cadangan air tanah, dan mengurangi kecepatan aliran permukaan hingga daya kikis dan daya angkutnya menurun. Teknologi Embung dapat meningkatkan intensitas tanah dan hasil usaha tani. Selain itu, Embung juga dapat digunakan untuk pemeliharaan ikan, dan air embung dapat pula dimanfaatkan untuk minum bagi ternak. Dengan penerapan teknologi ini, dalam jangka panjang diharapkan muka air tanah naik sehingga dapat dibuat sumur untuk keperluan rumah tangga. Lokasi yang sesuai untuk konstruksi umum bagi teknologi embung adalah : 1). Lapisan tanah bagian bawah kedap air; 2). kemiringan lahan kurang dari 40%; 3). tidak langsung dilalui oleh saluran pembuangan air utama.
Sedangkan Sistem Irigasi Dam Parit (Channel Reservoir), adalah sistem yang memanfaatkan aliran sungai dengan cara memotong aliran sungai dan mengumpulkan air dari aliran sungai tersebut untuk didistribusikan ke saluran irigasi yang ada. Dengan sistem ini, aliran permukaan dapat dikurangi sehingga dapat digunakan sebagai cara untuk penanggulangan banjir. Di samping itu, sistem ini dapat mengurangi sedimentasi dan pendangkalan sungai akibat sedimentasi karena berkurangnya laju aliran permukaan, dan meningkatkan permukaan air tanah. Sistem ini dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Badan Litbang Pertanian. Di Kabupaten Buleleng saat ini terdapat 15 unit embung yang tersebar di 9 Kecamatan dan 1 unit dam parit di Kecamatan Gerokgak. Keberadaan embung dan system irigasi dam parit ini diharapkan dapat menanggulangi kekeringan dengan memanfaatkan penerapan teknologi pengaturan air untuk pertanian.
Sumber : 1). 2006. Wiyono, Joko. Musim Kemarau Datang, Sistem Irigasi Mikro di Lahan Kering Jadi Pilihan. Tabloid Sinar Tani, Penulis dari BBP Mektan, Serpong; 2). Salman Darajat. 2003. artikel pada halaman utama Sinar Harapan : Embung, Irigasi Kendi, dan Dam Parit. Badan Ketahanan Pangan, Penyuluhan Pertanian dan Kehutanan Aceh Timur diakses pada web. http://www.sinarharapan.co.id/index.html (pada tgl. 8 November 2008); 3). Modul TOT Penyuluh Pertanian dalam eangka Peningkatan Kesadaran Petani Terhadap Isu-isu Perubahan iklim serta Mitigasi dan Adaptasinya, Kerjasama Badan Litbang Pertanian dengan BMKG, 2011. Oleh Ir.Sri Puji Rahayu, MM/ yayuk_edi@yahoo.com