(0362) 25090
distan@bulelengkab.go.id
Dinas Pertanian

HAMA PENGOROK DAUN PADA TANAMAN HORTIKULTURA

Admin distan | 29 Agustus 2025 | 53 kali


 

Oleh: Pande Made Giopany, S.P.

(POPT – Ahli Pertama BPP Kecamatan Sukasada)

 

Hama pengorok daun atau leaf miner merupakan salah satu hama penting yang menjadi perhatian dalam budidaya tanaman sayuran dan hortikultura di Indonesia. Hama ini umumnya berasal dari genus Liriomyza, seperti Liriomyza sativae, L. huidobrensis, dan L. chinensis, yang dikenal sebagai spesies invasif dan mampu menyerang berbagai jenis tanaman. Sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1994 di daerah Cisarua, Bogor, hama pengorok daun masih menjadi kendala utama bagi petani, khususnya petani sayuran. Hama ini bersifat polifag dan dapat menyebabkan kerugian hasil mencapai 30–70 persen, bahkan berpotensi menimbulkan kegagalan panen di beberapa daerah.

Secara morfologi, imago pengorok daun berupa lalat kecil berwarna hitam atau abu-abu dengan panjang tubuh sekitar dua milimeter. Serangga betina meletakkan telur di dalam jaringan daun, dan larva yang menetas berkembang dengan cara memakan jaringan mesofil daun. Aktivitas makan larva tersebut menghasilkan korokan berwarna putih atau keabu-abuan yang berliku-liku di permukaan daun. Pola khas ini menjadi gejala utama yang mudah dikenali di lapangan. Akibat serangan, daun kehilangan sebagian besar jaringan hijau sehingga proses fotosintesis terganggu, tanaman menjadi lemah, pertumbuhan terhambat, dan pada akhirnya kualitas serta kuantitas hasil panen menurun. Pada serangan berat, daun bisa menguning, mengering, hingga rontok sebelum waktunya.

Siklus hidup Liriomyza berlangsung relatif singkat. Telur biasanya menetas dalam dua hingga lima hari, kemudian larva hidup dan makan di dalam daun selama kurang lebih satu minggu sebelum keluar dan berubah menjadi pupa di tanah atau di permukaan daun yang gugur. Dengan kondisi iklim yang hangat dan kering, hama ini dapat berkembang biak dengan cepat dalam beberapa generasi sepanjang musim tanam, sehingga populasinya bisa meningkat tajam bila tidak dikendalikan.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengendalian kimia melalui penggunaan insektisida secara intensif justru sering memperparah masalah. Insektisida non-selektif terbukti memusnahkan musuh alami seperti parasitoid, sehingga populasi hama meningkat tidak terkendali. Pasaru (2013) melaporkan bahwa di Sulawesi Tengah terdapat komunitas parasitoid alami seperti Hemiptarsenus varicornis, Chrysocharis pentheus, Sympiesis sp., Gronotoma micromorpha, dan Opius sp. yang mampu menekan perkembangan hama. Di antara parasitoid tersebut, H. varicornis adalah yang paling melimpah. Sayangnya, penggunaan insektisida yang tidak bijak dapat mengurangi populasi parasitoid tersebut dan melemahkan perannya dalam pengendalian alami.

Penelitian di Bali yang dilakukan oleh Suryawan dan Reyes (2016) menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik reflektif mampu menurunkan populasi L. huidobrensis pada tanaman kentang. Mulsa tidak hanya mengurangi jumlah larva dan imago, tetapi juga tidak mengganggu keberadaan parasitoid yang berperan penting sebagai musuh alami. Hasil yang lebih efektif diperoleh ketika mulsa reflektif dikombinasikan dengan pemupukan organik berbasis vermikompos, karena kondisi ini mendukung kesehatan tanaman sekaligus ekosistem mikro yang lebih seimbang.

 

 

Sumber Pustaka

Pasaru, F. (2013). Komunitas parasitoid pengorok daun pada bawang merah di Lembah Palu. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 13(1), 23–30.

Shahabuddin, M., Holidi, A., & Widaningsih, S. (2015). The role of trap crops for conserving of natural enemies of leafminer on onion in Central Sulawesi, Indonesia. International Journal of Agricultural Technology, 11(8), 1921–1934.

Suryawan, I.M. & Reyes, S. (2016). The influence of cultural practice on population of pea leafminer Liriomyza huidobrensis and its parasitoids in potato. International Journal of Agricultural Technology, 12(7), 1121–1132.