Oleh:
Pande Made Giopany, S.P.
(POPT
– Ahli Pertama BPP Kecamatan Sukasada)
Hama pengorok daun atau leaf miner merupakan salah
satu hama penting yang menjadi perhatian dalam budidaya tanaman sayuran dan
hortikultura di Indonesia. Hama ini umumnya berasal dari genus Liriomyza,
seperti Liriomyza sativae, L. huidobrensis, dan L. chinensis,
yang dikenal sebagai spesies invasif dan mampu menyerang berbagai jenis
tanaman. Sejak ditemukan pertama kali pada tahun 1994 di daerah Cisarua, Bogor,
hama pengorok daun masih menjadi kendala utama bagi petani, khususnya petani
sayuran. Hama ini bersifat polifag dan dapat menyebabkan kerugian hasil
mencapai 30–70 persen, bahkan berpotensi menimbulkan kegagalan panen di
beberapa daerah.
Secara morfologi, imago pengorok daun berupa lalat kecil
berwarna hitam atau abu-abu dengan panjang tubuh sekitar dua milimeter.
Serangga betina meletakkan telur di dalam jaringan daun, dan larva yang menetas
berkembang dengan cara memakan jaringan mesofil daun. Aktivitas makan larva
tersebut menghasilkan korokan berwarna putih atau keabu-abuan yang berliku-liku
di permukaan daun. Pola khas ini menjadi gejala utama yang mudah dikenali di
lapangan. Akibat serangan, daun kehilangan sebagian besar jaringan hijau
sehingga proses fotosintesis terganggu, tanaman menjadi lemah, pertumbuhan
terhambat, dan pada akhirnya kualitas serta kuantitas hasil panen menurun. Pada
serangan berat, daun bisa menguning, mengering, hingga rontok sebelum waktunya.
Siklus hidup Liriomyza berlangsung relatif singkat.
Telur biasanya menetas dalam dua hingga lima hari, kemudian larva hidup dan
makan di dalam daun selama kurang lebih satu minggu sebelum keluar dan berubah
menjadi pupa di tanah atau di permukaan daun yang gugur. Dengan kondisi iklim
yang hangat dan kering, hama ini dapat berkembang biak dengan cepat dalam
beberapa generasi sepanjang musim tanam, sehingga populasinya bisa meningkat
tajam bila tidak dikendalikan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengendalian kimia
melalui penggunaan insektisida secara intensif justru sering memperparah
masalah. Insektisida non-selektif terbukti memusnahkan musuh alami seperti
parasitoid, sehingga populasi hama meningkat tidak terkendali. Pasaru (2013)
melaporkan bahwa di Sulawesi Tengah terdapat komunitas parasitoid alami seperti
Hemiptarsenus varicornis, Chrysocharis pentheus, Sympiesis sp., Gronotoma
micromorpha, dan Opius sp. yang mampu menekan perkembangan hama. Di
antara parasitoid tersebut, H. varicornis adalah yang paling melimpah.
Sayangnya, penggunaan insektisida yang tidak bijak dapat mengurangi populasi
parasitoid tersebut dan melemahkan perannya dalam pengendalian alami.
Penelitian di Bali yang dilakukan oleh Suryawan dan Reyes
(2016) menunjukkan bahwa penggunaan mulsa plastik reflektif mampu menurunkan
populasi L. huidobrensis pada tanaman kentang. Mulsa tidak hanya
mengurangi jumlah larva dan imago, tetapi juga tidak mengganggu keberadaan
parasitoid yang berperan penting sebagai musuh alami. Hasil yang lebih efektif
diperoleh ketika mulsa reflektif dikombinasikan dengan pemupukan organik
berbasis vermikompos, karena kondisi ini mendukung kesehatan tanaman sekaligus
ekosistem mikro yang lebih seimbang.
Sumber Pustaka
Pasaru, F. (2013). Komunitas parasitoid pengorok daun pada bawang merah
di Lembah Palu. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika, 13(1), 23–30.
Shahabuddin, M., Holidi, A., & Widaningsih, S. (2015). The role of
trap crops for conserving of natural enemies of leafminer on onion in Central
Sulawesi, Indonesia. International Journal of Agricultural Technology,
11(8), 1921–1934.
Suryawan, I.M. & Reyes, S. (2016). The influence of cultural practice
on population of pea leafminer Liriomyza huidobrensis and its
parasitoids in potato. International Journal of Agricultural Technology,
12(7), 1121–1132.